Namun demikian, kejadian tersebut tak menyurutkan saya untuk menulis kisah tentang Eduard Douwes Dekker di Museum Multatuli yang jejak singkatnya di Lebak melahirkan karya besar Max Havelaar. Novel yang mengguncang dunia, yang menyingkap wajah kelam sistem kolonialisme, yang membuka mata, bahwa rakyat pribumi hidup dalam cengkeraman ganda yakni sistem kolonial dan penguasa lokal.
Jejak Multatuli sebagai Asisten Residen Lebak
Dari sebuah kota kecil, lahirlah sebuah kisah yang menggemparkan kolonialisme
Alkisah, pada awal tahun 1856, Eduard Douwes Dekker diangkat menjadi Asisten Residen Lebak. Jabatan ini ditempatkan di bawah Residen Banten, dengan tugas utama mengawasi jalannya roda pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Banten Selatan dan bekerja sama dengan bupati setempat.
Ketika tiba di Rangkasbitung, ia disambut dengan realitas pahit. Alih-alih menemukan daerah yang tentram, ia melihat penderitaan rakyat yang mendalam. Penindasan bukan hanya dilakukan oleh kekuasaan kolonial, tetapi juga oleh penguasa lokal yang seharusnya melindungi rakyatnya.
Eduard Douwes Dekker menyaksikan rakyat kecil dipaksa bekerja tanpa upah, menyerahkan hasil panen di luar batas wajar, bahkan mereka kehilangan kerbau (alat pembajak bagi petani) dengan alasan pajak dan pungutan.
Lebih dari itu, ia melihat feodalisme lokal yang menjerat. Para penguasa lokal memanfaatkan kedudukan mereka untuk memperkaya diri, sementara rakyat jelata dibiarkan menderita. Keadaan ini diperparah oleh pemerintah kolonial yang menutup mata demi menjaga “stabilitas” dan aliran keuntungan dari hasil bumi.
Sebagai pejabat baru, Eduard Douwes Dekker mencoba melakukan perubahan. Ia menegur langsung Bupati Lebak yang dianggapnya menindas rakyat. Ia juga menulis laporan resmi ke Residen Banten, bahkan ke Batavia, meminta agar praktik-praktik itu dihentikan.
Ia yakin bahwa tugasnya bukan sekadar menjalankan aturan, tetapi juga menegakkan keadilan. Ia ingin pejabat kolonial dan penguasa lokal berperan melindungi rakyat, bukan justru ikut menindas.
Namun, idealisme itu berbenturan dengan kepentingan kolonial. Kritiknya dianggap berbahaya, lantaran dapat merusak hubungan baik dengan penguasa lokal, sementara ia sendiri dituduh tidak mampu menjaga stabilitas.
Alih-alih mendapat dukungan, Eduard Douwes Dekker justru dicopot dari jabatannya. Kariernya runtuh hanya dalam hitungan tidak lebih dari empat bulan. Ia meninggalkan Lebak dengan kecewa, merasa gagal, dan pulang kembali ke Eropa.
Namun, pengalaman pahit di Lebak tidak hilang begitu saja dari ingatannya. Empat tahun kemudian, pada 1860, Eduard Douwes Dekker menulis dan menerbitkan novel Max Havelaar. Ia menggunakan nama pena Multatuli, sebagai tanda penderitaan yang ia alami dan saksikan.
Novel ini tidak hanya memotret kisah seorang pejabat idealis bernama Max Havelaar, tetapi juga menyingkap wajah asli kolonialisme. Melalui tokoh-tokoh dan kisah rakyat, termasuk tragedi Saijah dan Adinda, Multatuli menggambarkan bagaimana kebijakan kolonial menghancurkan kehidupan rakyat pribumi.
Kritik Multatuli atas Penguasa Lokal dan Kolonialisme
Novel ini adalah senjata moral yang menggemparkan hingga ke Eropa.