Max Havelaar bukan sekedar novel kolonial, melainkan hikayat kemanusiaan yang mengingatkan suara keadilan, meski datang dari satu orang, bisa menggema dan menembus batas zaman.
Jika suatu hari berkesempatan singgah ke Rangkasbitung, jangan lewatkan untuk melangkahkan kaki ke Museum Multatuli. Dari Stasiun Kereta Rangkasbitung, jaraknya tak jauh. Lokasinya berada di sisi timur Alun-alun Kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Museum ini tercatat sebagai museum anti-kolonial pertama di Indonesia, sebuah penanda penting bahwa sejarah bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga cermin untuk menatap masa depan.
Bangunan museum yang menaunginya berdiri sejak 1923, menghadirkan nuansa arsitektur yang memadukan masa lalu dan masa kini. Dari kejauhan, tampak pendopo dengan suasana teduh dan asri. Tempat ini begitu ramah, kayaknya cukup menyenangkan untuk mengenalkan sejarah kepada anak-anak, tanpa harus terbebani kesan kaku seperti museum pada umumnya.
Memasuki area gedung, pengunjung akan mendapati tujuh ruangan yang disusun layaknya alur cerita. Setiap ruangan mewakili satu periode penting dalam sejarah kolonialisme hingga lahirnya gerakan kemerdekaan dari penjajah Belanda. Semua disajikan dengan pendekatan modern, menggunakan multimedia berupa podcast hingga video interaktif yang diputar di layar.
Koleksi yang dipamerkan pun beragam. Selain duplikasi benda bersejarah, terdapat artefak asli yang bernilai tinggi. Salah satunya adalah ubin dari rumah Asisten Residen Lebak Eduard Douwes Dekker yang pernah bertugas pada Januari hingga April 1856.
Lain itu, museum ini juga menyimpan sejumlah buku karya Multatuli, termasuk novel Max Havelaar dari berbagai bahasa, serta dua surat penting lainnya yakni surat Eduard Douwes Dekker kepada Raja Willem III serta surat Bung Karno kepada sahabatnya di Belanda, Samuel Koperberg.
Bukan hanya dokumen, museum juga menghadirkan visual sejarah lewat sederet foto yang merekam perjalanan Kabupaten Lebak dari masa ke masa.
Dan tak kalah menarik, berdiri pula patung Eduard Douwes Dekker alias Multatuli bersama tokoh fiksi yang abadi, Saijah dan Adinda, hasil karya pematung terkemuka Dolorosa Sinaga.
Jadi, jika kita mengunjungi Museum Multatuli bukan sekadar perjalanan melihat koleksi benda bersejarah. Lebih dari itu, di sini kita akan mendapat pengalaman menyelami jejak seorang penulis yang berani bersuara melawan penindasan, serta menyadari betapa relevan pesan moralnya hingga hari ini.
Oh, ya, dari rumah saya sendiri, museum ini berjarak sekitar 20 kilometer atau hanya sekitar 30 menit perjalanan berkendara. Dan belum lama ini saya bertandang ke sana. Tapi sayangnya, dokumentasi semua foto dan videonya hilang tanpa jejak di ponsel seluler anak saya.
Namun demikian, kejadian tersebut tak menyurutkan saya untuk menulis kisah tentang Eduard Douwes Dekker di Museum Multatuli yang jejak singkatnya di Lebak melahirkan karya besar Max Havelaar. Novel yang mengguncang dunia, yang menyingkap wajah kelam sistem kolonialisme, yang membuka mata, bahwa rakyat pribumi hidup dalam cengkeraman ganda yakni sistem kolonial dan penguasa lokal.
Jejak Multatuli sebagai Asisten Residen Lebak
Dari sebuah kota kecil, lahirlah sebuah kisah yang menggemparkan kolonialisme
Alkisah, pada awal tahun 1856, Eduard Douwes Dekker diangkat menjadi Asisten Residen Lebak. Jabatan ini ditempatkan di bawah Residen Banten, dengan tugas utama mengawasi jalannya roda pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Banten Selatan dan bekerja sama dengan bupati setempat.
Ketika tiba di Rangkasbitung, ia disambut dengan realitas pahit. Alih-alih menemukan daerah yang tentram, ia melihat penderitaan rakyat yang mendalam. Penindasan bukan hanya dilakukan oleh kekuasaan kolonial, tetapi juga oleh penguasa lokal yang seharusnya melindungi rakyatnya.
Eduard Douwes Dekker menyaksikan rakyat kecil dipaksa bekerja tanpa upah, menyerahkan hasil panen di luar batas wajar, bahkan mereka kehilangan kerbau (alat pembajak bagi petani) dengan alasan pajak dan pungutan.
Lebih dari itu, ia melihat feodalisme lokal yang menjerat. Para penguasa lokal memanfaatkan kedudukan mereka untuk memperkaya diri, sementara rakyat jelata dibiarkan menderita. Keadaan ini diperparah oleh pemerintah kolonial yang menutup mata demi menjaga “stabilitas” dan aliran keuntungan dari hasil bumi.
Sebagai pejabat baru, Eduard Douwes Dekker mencoba melakukan perubahan. Ia menegur langsung Bupati Lebak yang dianggapnya menindas rakyat. Ia juga menulis laporan resmi ke Residen Banten, bahkan ke Batavia, meminta agar praktik-praktik itu dihentikan.
Ia yakin bahwa tugasnya bukan sekadar menjalankan aturan, tetapi juga menegakkan keadilan. Ia ingin pejabat kolonial dan penguasa lokal berperan melindungi rakyat, bukan justru ikut menindas.
Namun, idealisme itu berbenturan dengan kepentingan kolonial. Kritiknya dianggap berbahaya, lantaran dapat merusak hubungan baik dengan penguasa lokal, sementara ia sendiri dituduh tidak mampu menjaga stabilitas.
Alih-alih mendapat dukungan, Eduard Douwes Dekker justru dicopot dari jabatannya. Kariernya runtuh hanya dalam hitungan tidak lebih dari empat bulan. Ia meninggalkan Lebak dengan kecewa, merasa gagal, dan pulang kembali ke Eropa.
Namun, pengalaman pahit di Lebak tidak hilang begitu saja dari ingatannya. Empat tahun kemudian, pada 1860, Eduard Douwes Dekker menulis dan menerbitkan novel Max Havelaar. Ia menggunakan nama pena Multatuli, sebagai tanda penderitaan yang ia alami dan saksikan.
Novel ini tidak hanya memotret kisah seorang pejabat idealis bernama Max Havelaar, tetapi juga menyingkap wajah asli kolonialisme. Melalui tokoh-tokoh dan kisah rakyat, termasuk tragedi Saijah dan Adinda, Multatuli menggambarkan bagaimana kebijakan kolonial menghancurkan kehidupan rakyat pribumi.
Kritik Multatuli atas Penguasa Lokal dan Kolonialisme
Novel ini adalah senjata moral yang menggemparkan hingga ke Eropa.
Dalam novel Max Havelaar, Multatuli menelanjangi wajah penguasa lokal. Bupati, bangsawan, dan para priyayi bukan lagi pelindung rakyat, melainkan pemeras. Mereka memaksakan kerja tanpa perikemanusiaan, memungut pajak berlebihan, dan merampas hasil bumi.
Lebih parahnya lagi, Multatuli menyerang pemerintah kolonial Belanda. Negeri yang mengaku Eropa beradab ternyata membiarkan praktik kejam terjadi di tanah jajahan. Sistem tanam paksa, terutama kopi, dijadikan mesin keuntungan, sementara rakyat hidup miskin.
Puncak kritik itu terwujud dalam kisah Saijah dan Adinda, sepasang kekasih dari Lebak. Kehidupan mereka hancur karena kerbau dirampas, keluarganya menderita, dan cinta keduanya yang berakhir tragis. Bagi pembaca Eropa, kisah ini membuat derita rakyat Hindia Belanda terasa nyata dan menyentuh.
Dengan gaya penulisan yang tajam dan menyindir, Multatuli menegaskan bahwa masalah bukan hanya pejabat yang serakah, melainkan sistem yang korup dari atas hingga bawah. Kritik ini menjadikan Max Havelaar bukan sekadar novel, tetapi dokumen moral yang mengungkap wajah asli kolonialisme.
Pesan Moral dari Lebak untuk Dunia
Dari Lebak, Hikayat Multatuli telah memberi teladan. Kini giliran kita melanjutkannya.
Hikayat Multatuli di Lebak memberi pelajaran penting yang tidak lekang oleh waktu. Dari kisah ini kita memahami bahwa seorang pejabat sejati harus berani berpihak kepada rakyat kecil. Eduard Douwes Dekker mungkin gagal dalam misi kolonialnya, tetapi kegagalannya melahirkan karya besar yang terus dikenang hingga kini.
Kisah itu juga menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa moral hanya akan melahirkan tirani, ketidakadilan, dan pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pemerintah kolonial dulu membungkus kezaliman dengan alasan stabilitas, dan akibatnya rakyat menderita. Pola-pola seperti ini bisa saja muncul di zaman apa pun jika penguasa lebih sibuk menjaga kepentingan sendiri ketimbang kesejahteraan rakyatnya.
Yang membuat novel Max Havelaar istimewa sebenarnya adalah cara Multatuli menulis kritiknya. Ia tidak memilih bahasa laporan birokrasi yang dingin dan kaku, melainkan gaya sastra yang hidup, penuh emosi, dan menyentuh hati. Kritiknya mengalir melalui sejumlah tokoh fiksi dan kisah nyata, sehingga pembaca merasakan derita rakyat secara langsung.
Dalam konteks kekinian, gaya penulisan ala Eduard Douwes Dekker tetap relevan. Kritik sosial, politik, maupun ekonomi sering kali sulit dicerna karena dibungkus angka dan istilah teknis. Padahal, dengan gaya yang menghidupkan fakta menjadi cerita, kritik bisa menggugah kesadaran masyarakat. Multatuli mengajarkan bahwa pena mampu menjadi senjata moral.
Eduard Douwes Dekker mungkin kalah dalam arena birokrasi, tetapi ia menang dalam panggung sejarah. Dari pengalaman di Rangkasbitung, ia menulis novel yang menggemparkan tak hanya negeri Belanda bahkan Eropa, membuka mata dunia, dan kelak menginspirasi lahirnya politik etis di Hindia Belanda.
Max Havelaar bukan sekedar novel kolonial, melainkan hikayat kemanusiaan yang mengingatkan suara keadilan, meski datang dari satu orang, bisa menggema dan menembus batas zaman. Gaya penulisan Eduard Douwes Dekker menunjukkan bahwa sebuah pena atau tulisan bisa lebih tajam daripada pedang.
Pertanyaannya, kalau Eduard Douwes Dekker bisa, kenapa kita tidak bisa? Pertanyaan ini bukan retorika, melainkan tantangan.
Dari Lebak, Hikayat Multatuli telah memberi teladan. Kini giliran kita melanjutkannya. Semoga bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI