Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Hikayat Multatuli: Jejak, Kritik, dan Pesan Moral dari Lebak untuk Dunia

20 September 2025   07:20 Diperbarui: 21 September 2025   18:51 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bagian dari Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak, Banten (Dok. Museum Multatuli https://museummultatuli.id/)

Dalam novel Max Havelaar, Multatuli menelanjangi wajah penguasa lokal. Bupati, bangsawan, dan para priyayi bukan lagi pelindung rakyat, melainkan pemeras. Mereka memaksakan kerja tanpa perikemanusiaan, memungut pajak berlebihan, dan merampas hasil bumi.

Lebih parahnya lagi, Multatuli menyerang pemerintah kolonial Belanda. Negeri yang mengaku Eropa beradab ternyata membiarkan praktik kejam terjadi di tanah jajahan. Sistem tanam paksa, terutama kopi, dijadikan mesin keuntungan, sementara rakyat hidup miskin.

Puncak kritik itu terwujud dalam kisah Saijah dan Adinda, sepasang kekasih dari Lebak. Kehidupan mereka hancur karena kerbau dirampas, keluarganya menderita, dan cinta keduanya yang berakhir tragis. Bagi pembaca Eropa, kisah ini membuat derita rakyat Hindia Belanda terasa nyata dan menyentuh.

Dengan gaya penulisan yang tajam dan menyindir, Multatuli menegaskan bahwa masalah bukan hanya pejabat yang serakah, melainkan sistem yang korup dari atas hingga bawah. Kritik ini menjadikan Max Havelaar bukan sekadar novel, tetapi dokumen moral yang mengungkap wajah asli kolonialisme.

Pesan Moral dari Lebak untuk Dunia

Dari Lebak, Hikayat Multatuli telah memberi teladan. Kini giliran kita melanjutkannya.

Hikayat Multatuli di Lebak memberi pelajaran penting yang tidak lekang oleh waktu. Dari kisah ini kita memahami bahwa seorang pejabat sejati harus berani berpihak kepada rakyat kecil. Eduard Douwes Dekker mungkin gagal dalam misi kolonialnya, tetapi kegagalannya melahirkan karya besar yang terus dikenang hingga kini.

Kisah itu juga menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa moral hanya akan melahirkan tirani, ketidakadilan, dan pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pemerintah kolonial dulu membungkus kezaliman dengan alasan stabilitas, dan akibatnya rakyat menderita. Pola-pola seperti ini bisa saja muncul di zaman apa pun jika penguasa lebih sibuk menjaga kepentingan sendiri ketimbang kesejahteraan rakyatnya.

Yang membuat novel Max Havelaar istimewa sebenarnya adalah cara Multatuli menulis kritiknya. Ia tidak memilih bahasa laporan birokrasi yang dingin dan kaku, melainkan gaya sastra yang hidup, penuh emosi, dan menyentuh hati. Kritiknya mengalir melalui sejumlah tokoh fiksi dan kisah nyata, sehingga pembaca merasakan derita rakyat secara langsung.

Dalam konteks kekinian, gaya penulisan ala Eduard Douwes Dekker tetap relevan. Kritik sosial, politik, maupun ekonomi sering kali sulit dicerna karena dibungkus angka dan istilah teknis. Padahal, dengan gaya yang menghidupkan fakta menjadi cerita, kritik bisa menggugah kesadaran masyarakat. Multatuli mengajarkan bahwa pena mampu menjadi senjata moral.

Eduard Douwes Dekker mungkin kalah dalam arena birokrasi, tetapi ia menang dalam panggung sejarah. Dari pengalaman di Rangkasbitung, ia menulis novel yang menggemparkan tak hanya negeri Belanda bahkan Eropa, membuka mata dunia, dan kelak menginspirasi lahirnya politik etis di Hindia Belanda.

Max Havelaar bukan sekedar novel kolonial, melainkan hikayat kemanusiaan yang mengingatkan suara keadilan, meski datang dari satu orang, bisa menggema dan menembus batas zaman. Gaya penulisan Eduard Douwes Dekker menunjukkan bahwa sebuah pena atau tulisan bisa lebih tajam daripada pedang.

Pertanyaannya, kalau Eduard Douwes Dekker bisa, kenapa kita tidak bisa? Pertanyaan ini bukan retorika, melainkan tantangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun