Di era digital, satu klik di layar ponsel bisa membawa wajah kita ke tempat yang tak pernah kita bayangkan. Mengunggah foto ke aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI) kini jadi tren mulai dari filter wajah, avatar kartun, hingga transformasi ala film animasi. Namun, pertanyaan yang jarang kita pikirkan adalah setelah diunggah, sebenarnya foto kita pergi ke mana?
Banyak orang berasumsi bahwa foto hanya dipinjam sebentar untuk diproses, lalu otomatis terhapus. Kenyataannya, hal itu sangat bergantung pada kebijakan setiap platform. Beberapa aplikasi memang menghapus foto setelah beberapa jam, tapi ada pula yang menyimpannya lebih lama bahkan menjadikannya bagian dari database untuk melatih ulang model AI mereka.
Kisah Anna  bisa jadi cermin. Ia mengunggah fotonya ke sebuah aplikasi avatar populer. Hanya dalam hitungan detik, wajahnya berubah menjadi karakter kartun yang menawan. Tapi beberapa minggu kemudian, ia menemukan foto yang mirip wajahnya dipakai dalam sebuah iklan daring. Tanpa sadar, ia sudah memberikan izin penggunaan foto lewat syarat dan ketentuan yang jarang dibaca pengguna.
Riset dari Human Rights Watch (2024) menunjukkan bahwa foto pribadi, bahkan foto anak-anak, bisa masuk ke dataset AI tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sementara laporan dari University of Florida (2025) menegaskan risiko deepfake yang kian marak, di mana wajah seseorang dapat dipakai untuk membuat konten palsu yang sulit dibedakan dari kenyataan.
Risikonya bukan sekadar foto disimpan, melainkan hilangnya kontrol. Metadata foto  seperti lokasi, waktu, dan perangkat juga bisa ikut terekam. Jika jatuh ke tangan yang salah, data sederhana itu bisa membuka jejak digital yang seharusnya privat.
Namun, bukan berarti setiap unggahan adalah bencana. Ada platform yang transparan: mereka memberi opsi untuk menghapus data, menolak pelatihan model, atau memproses langsung di perangkat tanpa mengirim ke server. Sayangnya, fitur ini sering luput dari perhatian pengguna.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Membaca kebijakan privasi mungkin terasa membosankan, tapi itu adalah pertahanan pertama. Menghindari unggah foto sensitif  terutama anak-anak atau lokasi rumah juga bisa menjadi langkah kecil yang melindungi banyak hal.
Pada akhirnya, setiap klik adalah keputusan. Foto kita mungkin hanya ingin dijadikan avatar lucu, tapi tanpa sadar bisa berakhir di ruang-ruang digital yang tak pernah kita jamah. Di dunia di mana melihat tak selalu berarti percaya, pertanyaan sederhana ini layak terus kita ulang: kemana sebenarnya foto kita pergi setelah diunggah?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI