Pelan tapi pasti, itulah langkah yang ditempuh Anies Baswedan, Menteri Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaan, dalam memperbaiki kualitas pendidikan nasional. Di tengah gejolak pro-kontra kenaikan harga BBM, memanasnya suhu pertarungan Munas Golkar di Bali, dan berbagai hiruk pikuk peristiwa di daerah, mantan rektor Paramadina itu menjawab harapan publik. Akar permasalahan yang sudah menggurita dan seakan tidak mungkin terurai pelan-pelan dibedah.
Diawali dengan pernyataan yang cukup inspiratif dan menggugah kesadaran publik Anies mengungkapkan, "Saya ingin agar pendidikan dipahami sebagai gerakan. Jangan sebagai program. Masyarakat harus aktif terlibat meningkatkan kualitas pendidikan. Negara lebih berfungsi sebagai fasilitator, menjalankan program kebijakan dan mendorong partisipasi masyarakat. Jangan disalahartikan pemerintah lalu tidak melakukan apa-apa. Bukan begitu, tetapi, believe me, negara tidak sanggup mengurus pendidikan sendiri."
Anies sedang meruntuhkan hegemoni negara pada pendidikan. Hegemoni yang mempersempit ruang partisipasi publik dalam memajukan pendidikan. Meskipun akhir-akhir ini mulai muncul gerakan pendidikan berbasis komunitas dengan segala varian aktivitasnya, pemerintah masih gampang "curiga". Para relawan dan aktivis pendidikan komunitas seperti anak hilang di tengah kampungnya sendiri. Pemerintah belum merangkul mereka dan justru sibuk dengan formalisme pendidikan ala pejabat.
Namun angin segar sudah berhembus. "Gerakan dari masyarakat bisa memberi tekanan kepada pusat atau daerah. Apa menteri bisa memerintah dinas pendidikan di daerah? Tidak bisa. Saya harus minta ke rakyat lalu rakyat yang akan menekan daerah. Bukan pemerintah yang memberi perintah, melainkan harus datang dari bawah dan itu berarti harus berbentuk gerakan," demikian pesan Anies kepada publik.
Inilah akar persoalan pendidikan nasional yang hendak dibedah Anies: pendidikan yang hanyut dalam arus formalisme. Pendidikan yang tidak mengakar dan kehilangan akarnya. Pendidikan yang regulasi, juklak, juknisnya selalu datang dari atas ke bawah. Guru diberlakukan sebagai pegawai kementerian pendidikan, bukan sebagai partner belajar siswa.
Dan akar itu pelan-pelan harus dijebol. Pendidikan bukan semata urusan formalisme dan kesetiaan buta para guru kepada atasannya. Pendidikan adalah gerakan bersama yang berbasis pada partisipasi publik untuk memberdayakan komunitas dan lingkungannya. Menurut saya, Anies sudah menemukan akar persolannya, yakni pemerintah yang terlalu jauh mencampuri urusan teknis pendidikan dan lemahnya partisapasi publik.
Tidak salah bila Anies menyatakan bahwa pendidikan itu sejatinya interaksi antar manusia. Maka apapun model proses belajar mengajarnya, fokus pendidikan adalah guru dan murid. Selama ini kita tahu fokus pendidikan selalu tertuju pada murid dan materi belajar. Guru cenderung diabaikan. Kurikulum 2013 yang dipaksakan implementasinya merupakan fakta aktual bahwa fokus interaksi tertuju pada murid. Pelatihan implementasi Kurikulum 2013 yang serabutan dan serampangan untuk guru adalah fakta berikutnya bahwa selama ini telah terjadi interaksi yang tidak berimbang.
Untuk menyeimbangkan interaksi antara guru dan murid, sungguh elok gerakan moral "Terima Kasih Guru" dan "VIP-kan Guru-Guru Kita." Semua pihak diajak kembali menyadari bahwa di setiap karya kita di sana ada jejak guru-guru kita. Menurut saya gerakan moral ini bukan sekedar ajakan menyejahterakan guru dengan ganjaran materi. Guru bukan sekedar fungsi pekerjaan profesional. Menjadi guru adalah memerankan fungsi sejarah yang di dalamnya memiliki makna dan ruh. Guru adalah wakil Tuhan yang membagikan ilmu kepada murid. Di hadapan Tuhan sang guru melantunkan doa-doa agar muridnya dianugerahi jalan keberkahan hidup. Di depan murid sang guru menebar ilmu dan kasih sayang Tuhan.
Pelan tapi pasti, itulah langkah yang ditempuh Anies Baswedan. Tidak mudah memang. Bukankah guru-guru kita selalu mengajarkan sikap pantang menyerah? []
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI