Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sepasang Pendekar Rajawali dan Pedang Cinta (Bag 1)

13 Maret 2018   18:22 Diperbarui: 13 Maret 2018   18:48 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

PURNAMA DI DESA KARANGLO

BANYAK orang bilang, Karanglo adalah desagemah ripah karta tata tur raharja[1] di tlatah Panjer[2]. Desa yang dilingkungi dengan pesawahan subur. Desa dialiri sungai yang menjadi urat nadi bagi para petani. Di musim kemarau terpanjang, pesawahan dan sumur-sumur di desa itu tak pernah kerontang. Hingga orang-orang bilang, Karanglo adalah sekeping pecahan surga yang dilempar dewa pilihan dari langit ke salah satu titik di planit bumi.

Bila pagi, Karanglo selalu sepi dari penghuninya. Sebagian mereka pergi ke sungai untuk memandikan kerbau dan sapi. Sebagian lain pergi ke tanah lapang untuk merumput buat ternaknya. Sebagian terakhir pergi ke sawah untuk merawat tanaman padinya. Menjelang siang, mereka selalu pulang untuk mengisi perut bersama keluarga. Selepas siang, mereka kembali membanting tulang. Membasuh tubuh mereka dengan keringat.

Sebagaimana sekawanan blekok yang terbang ke timur dengan membentuk anak panah saat ambang senja, orang-orang pulang ke rumah. Berkumpul dengan keluarga di ruangan depan. Bersantap malam. Sesudah mereka mandi di sumur. Menutup pintu dan jendela rumahnya rapat-rapat. Menyalakan lentera minyak jarak.

Malam bulan penuh dan bertaburankan bintang. Jarana dan Jureni isterinya yang telah selesai mengisi perutnya dengan nasi gaga sayur lodheh keluar dari rumah Ki Ageng Karanglo. Duduk di depan pendapa sambil menyaksikan anak-anak tengah bermain jaranan di pelataran. Anak-anak yang menunggang kuda-kudaan dari blungkang sambil berjalan membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu Jaranan. Anak-anak yang berhandai-handai sebagai pemuda gunung, pengiring Kuda Kawung milik Tuan Tumenggung. Anak-anak yang berhandai-handai sebagai para mantri, pengiring Tuan Bei pemilik Kuda Teji.

Menyaksikan tingkah-polah anak-anak yang bermain jaranan di pelataran, Jarana dan Jureni tertawa terpingkal-pingkal hingga air matanya membasahi sudut bola mata. Terlebih saat mereka menyaksikan Bagus Badranaya yang menari sambil berjalan di belakang anak-anak itu tanpa kuda mainan. Gerak tarian anak yang memiliki sepasang tangan gendhewa pinenthang[3] itu tak hanya terkesan naf dan lucu, namun pula sangat luwes.

"Tarian Gus Badra sungguh memikat hati, Ramane!" Jureni yang merupakan orang kepercayaan Ki Ageng Karanglo untuk mengasuh Bagus Badranaya sejak bayi bersama Jarana itu membuka pembicaraan. "Kalau melihat gerak tariannya, Gus Badra memiliki kelebihan dari anak-anak lainnya. Keluwesannya melampaui keluwesan Rinten anak kita. Anak bekas seorang ledhek tayub."

"Biyunge!" Jarana melontarkan kata-kata setengah berbisik dari mulutnya yang berbau tembakau. "Kalau keluwesan Gus Badra melebihi keluwesan Rinten, itu wajar. Apa kamu sudah lupa? Gus Badra itu putra Gusti Ayu Pembayun. Ledhek kondang Mataram yang dapat meruntuhkan hati Ki Ageng Mangir?"

"Oh, ya. Aku hampir lupa. Padahal aku tak pernah makan brutu."

"Tetapi, lebih baik kamu lupa."

"Maksud, Ramane?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun