Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pedang Titipan Tuhan

13 Maret 2024   08:08 Diperbarui: 25 Maret 2024   15:14 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar pexel.com

LANGIT merintih dalam bisikan-bisikan malam, awan hitam mengelilingi panggung dengan kilauan petir yang menari, meretaskan rahasia-rahasia tersembunyi dari penghuni langit. Mereka disaksikan oleh nyanyian angin yang membelai malam dengan kata-kata lembut. Di antara gemuruh yang mencari pemahaman dan kilatan yang membedah ketidaksadaran, terdengar bisikan halus dari bintang-bintang, membawa pesan-pesan yang belum terselami tentang kebesaran dinding rahim bumi. Namun, bulan, sang saksi setia, memilih untuk menutupi dirinya dalam kelam, menolak menyinari panggung drama malam yang tetap menyimpan misteri tak terpecahkan.

***

SELANG infus menancap di tangannya, “Antar Aep kesini, Bapak mau ajak Aep ketempat itu,” ucapnya lemah, di dadanya menancap juga kabel-kabel yang menjulur panjang menuju ke sebuah alat dengan gambar bergerak naik, turun di dalam layar dari alat itu, hidungnya pun tertanam selang oksigen.

“Diajak kemana, Pak?” tanya Ira lirih, air matanya samar-samar membasahi kedua pipinya.

“Ketempat yang indah, bagus banget,” ucapnya pelan, bibirnya tersenyum tapi tatapan matanya kosong, “Bapak betah tinggal di sana.”

“Bapak…” Ira memeluk tubuh ayahnya yang semakin lemah, tangisan Ira menjadi satu dengan irama alat yang terpasang di tubuh ayahnya.

Tiba-tiba, suara dari alat itu berubah nada, alat itu hanya mengeluarkan satu suara yang kencang, “BIIIPP…”

***

DIA menangis berteriak kencang, memecah kesunyian di ruangan yang hanya diisi oleh kaum perempuan saja, dia merobek, mencabik surga kenikmatan ayahnya, ibunya mengeram kesakitan, namun dia tetap tersenyum, air matanya menetes, bukan karena sakit, melainkan kebahagian, karena kehadirannya. Perempuan di ruangan itu lantas menggendong dia, membersihkan tubuh mungilnya yang berpeluh lendir yang hampir menghijau. Laki-laki, begitulah ucap perempuan itu.

Senyum ibunya semakin lebar, nampak giginya yang masih saling beradu karena menahan sakit, peluh yang menyembul di sekitar wajahnya yang pucat pasi tak dihiraukannya, dia ingin memeluk, mendekap, membisikan kata-kata cinta di telinga mungil itu. Sayangnya, Perempuan itu tidak membawa dia pada ibunya, karena ibunya tidak dapat mendengar. Perempuan itu membawa dia pada ayahnya yang sedang gelisah menanti sebuah berita, ayahnya mendengar suara tangisan, namun dia tidak mampu berlari mengejar tubuh mungil yang baru saja menghirup udara dunia, karena dia lumpuh, cacat sejak kecil, dia sebenarnya bisa berjalan tapi pengkor, sehingga di lebih memilih duduk di kursi rodanya menunggu perempuan itu membawamu padanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun