"Ya, Ramane. Maaf! Maaf!"
"Tak perlu minta maaf! Yang penting kamu dapat menyimpan rahasia besar kalau Gus Badra adalah putera Gusti Ayu Pembayun. Dengan menyimpan rahasia itu, kepala kita tak akan lepas dari raga."
Sebelum Jureni melontarkan kata-kata dari celah setangkup bibir yang memerah lantaran warna gambir dari kinang yang dikunyah, Bagus Badranaya dan Rinten telah berdiri di depannya. Seusai anak-anak yang bermain di halaman itu bubaran; Jureni, Jarana, Bagus Badranaya, dan Rinten memasuki rumah. Lantaran kelelahan bermain, Bagus Badranaya dan Rinten bergegas membaringkan tubuh di amben kayu beralas tikar mendong sesudah mencuci tangan, kaki, dan wajah di sumur. Sementara Jarana dan Jureni yang belum kantuk masih menghabiskan malam purnama. Duduk di kursi kayu di ruangan ndalem jero yang biasanya digunakan untuk melaras malam oleh Ki Ageng Karanglo yang tengah pergi ke Desa Banaran di tlatah Mataram. Desa, dimana arwah Ki Ageng Mangir disemayamkan.
Jureni memalingkan wajahnya ke arah Jarana yang menghela napas panjang dengan wajah tampak bercadarkan duka. Pandangan sepasang mata yang serupa bintang kembar dari lelaki paruh baya itu tampak berselimutkan awan tipis, menerawang jauh hingga menembus dinding kayu. Ia seperti tengah memikirkan sesuatu yang tersimpan di benak paling dasar.
"Ramane!" Jureni memecah keheningan suasana malam di ruangan ndalem jero yang terasa hampir membeku itu. "Sesungguhnya kamu ini tengah memikirkan apa? Sebagai isteri yang bukan hanya sebagai kanca wingking[4], aku wajib meringankan beban di dalam pikiranmu itu. Apakah kamu tengah memikirkanku yang hanya dapat memberikanmu satu anak? Apakah persoalan rumah tangga kita yang sejak dulu hingga sekarang hidup dalam kekurangan?"
"Bukan itu yang aku pikirkan."
"Lantas?"
"Aku tengah memikirkan bagaimana nasib Gus Badra kelak, sesudah hidup tanpa seorang ayah dan jauh dari kasih sayang seorang ibu. Apakah ia akan dapat hidup bahagia?"
"Ramane! Ramane!" Jureni cengengesan. "Aku sekarang tahu, kalau Ramane tak pernah menyimak, saat Ki Ageng Karanglo memberi wejangan. Bukankah Ki Ageng selalu bilang, kalau kebahagian itu hanya permainan rasa. Nasib Gus Badra akan ditentukannya sendiri. Meskipun orang-orang di sekitarnya memiliki pengaruh dalam menentukan nasib itu. Selain drajat, jodho, pati[5]; setiap manusia dapat mengubah nasib yang digariskan di tapak tangannya sendiri. Jadi, Ramane tak perlu menggelisahkan nasib Gus Badra!"
"Kali ini, kata-katamu dapat aku rasakan kedalaman maknanya. Kamu sungguh hebat, Babune!"
"Apa?" Jureni kembali cengengesan. "Ramane! Yang hebat itu bukan aku si burung beo, namun Ki Ageng yang selalu mengisi celah-celah waktu kesibukannya dengan merenungkan tentang apa sesungguhnya makna di balik kehidupan manusia."