Saya tidak tumbuh sebagai seseorang yang fasih dalam agama. Tidak pula berasal dari keluarga yang kental dengan tradisi keislaman yang taat. Ajaran agama saya kenal secara bertahap, sepotong demi sepotong, kadang dari teman, kadang dari pengalaman hidup yang menampar. Saya lebih banyak menjadi pengamat, penyimak, dan perenung. Dan dari ruang keterbatasan itulah, saya mencoba memahami agama bukan sebagai beban yang harus saya hapal, tapi cahaya yang perlahan-lahan saya dekati.
Di masa lalu, saya pernah merasa malu. Malu karena tidak tahu banyak tentang doa-doa, tentang fiqih, tentang hukum ini dan itu. Tapi seiring waktu, saya menyadari bahwa rasa malu itu bukan untuk membuat saya menjauh. Justru rasa itu bisa menjadi pintu untuk membuka ruang keberanian: untuk bertanya, untuk mencari, untuk berjalan pelan-pelan tanpa perlu membandingkan langkah saya dengan orang lain. Karena saya percaya, setiap jiwa punya kecepatannya sendiri.
Saya tidak menulis ini untuk menasihati siapa pun. Tidak juga merasa telah sampai. Ini hanyalah catatan kecil perjalanan saya yang masih tertatih, dalam usaha mengenal Tuhan. Saya menulis ini sebagai ruang refleksi, semacam pengingat untuk diri sendiri, bahwa jalan menuju surga itu banyak. Bahwa dalam Al-Qur'an, ada banyak jalur menuju kebaikan. Dan saya memilih jalur yang saya sanggupi, yang terasa paling dekat dengan hati.
Menjadi Hadir dalam Ibadah, Bukan Sekadar Menggugurkan Tugas
Dulu saya sering merasa lega setiap kali selesai salat. Tapi bukan karena hatinya tenang, melainkan karena tugasnya sudah beres. Seperti mencentang daftar kewajiban. Lama-lama saya bertanya: apa yang sebenarnya saya rasakan saat salat? Kenapa terasa kosong? Kenapa seperti terburu-buru ingin selesai?
Dari pertanyaan itulah, saya mulai belajar untuk hadir. Hadir bukan hanya secara fisik, tapi batin juga ikut menyusul. Saya mulai memperlambat gerak, menahan sejenak di tiap sujud, membiarkan hati berbicara lebih lama dalam diam. Kadang tetap kosong, kadang penuh air mata. Tapi saya tahu, saya mulai masuk ke dalam.
Saya belajar bahwa Tuhan tidak menuntut saya sempurna, tapi hadir. Karena kehadiran itulah bentuk cinta yang paling jujur. Dan kalaupun salat saya masih jauh dari khusyuk, setidaknya saya tidak lagi membohongi diri dengan kecepatan dan hafalan yang tergesa-gesa.
Mengenal Tuhan Lewat Rasa, Bukan Hanya Kata-kata
Saya pernah merasa jauh dari Tuhan karena tidak hafal banyak doa. Karena saya tidak tahu kalimat-kalimat Arab yang indah, atau bacaan wirid yang panjang. Tapi suatu hari, dalam keadaan yang sangat hancur, saya hanya mampu berkata lirih, "Ya Allah, tolong saya." Dan ajaibnya, itu cukup.
Dari situ saya belajar bahwa Tuhan tidak menilai seindah apa kata yang kita ucapkan, tapi sejujur apa rasa yang kita sampaikan. Tangis tanpa kata bisa lebih nyaring di langit daripada zikir yang diucap tanpa rasa. Tuhan itu dekat, bahkan sebelum kita sempat menyebut-Nya.
Saya mulai terbiasa berdialog dengan Tuhan dalam bahasa sehari-hari. Dalam sunyi kamar, dalam hati yang sepi, saya cerita apa adanya. Tentang takut, tentang bingung, tentang syukur. Rasanya lebih dekat, lebih akrab, dan lebih tenang. Karena ternyata, Tuhan tidak sejauh yang saya bayangkan.
Dari Simbol ke Esensi, Dari Gerak ke Inti
Saya mulai menyadari bahwa agama dipenuhi dengan simbol dan tata cara. Dari cara berpakaian, cara berdoa, hingga cara menyapa. Tapi semua itu hanyalah kulit. Jika saya hanya terpaku pada simbol, saya bisa lupa untuk mencari makna di baliknya.
Saya tidak menolak simbol. Tapi saya tidak ingin berhenti di sana. Saya ingin menggali: mengapa saya diminta bersedekah? Mengapa saya dianjurkan berzikir? Apa esensi di balik gerak-gerak itu? Karena saat saya memahami, ibadah tidak lagi terasa berat, tapi justru menjadi kebutuhan jiwa.
Dan ketika saya melihat orang lain berbeda dalam simbol---entah cara beribadah, cara berpakaian, atau cara mengekspresikan iman---saya tidak lagi mudah menghakimi. Karena saya tahu, bisa jadi kita berbeda di kulit, tapi sedang menuju inti yang sama.
Menghidupkan Jiwa, Bukan Mematuhkan Raga
Ada masa di mana saya menjalani ibadah seperti robot. Bangun, wudu, salat, tanpa jeda rasa. Seperti mesin yang tahu harus bergerak, tapi lupa mengapa ia hidup. Lama-lama saya lelah. Karena tubuh saya berjalan, tapi jiwa saya tertinggal jauh.
Saya ingin ibadah yang membuat jiwa saya menyala, bukan yang membuatnya padam. Ibadah yang membuat saya merasa hidup, bukan hanya patuh. Bukan berarti saya mengabaikan aturan, tapi saya ingin setiap gerak itu mengandung kesadaran, bukan paksaan.
Saya percaya, Tuhan tidak hanya ingin tubuh saya taat, tapi juga hati saya ikut hadir. Dan semakin saya merasakan ibadah sebagai dialog, bukan sekadar kewajiban, saya merasa lebih utuh. Lebih damai. Lebih manusiawi.
Beragama dalam Diam, Bertuhan dalam Ketenangan
Ada saatnya saya merasa bising dengan suara-suara tentang agama. Tentang siapa yang paling benar, siapa yang paling salah, siapa yang paling suci. Saya lelah. Dan dalam lelah itu, saya menemukan kedamaian dalam diam.
Saya mulai memahami bahwa spiritualitas kadang justru tumbuh dalam keheningan. Dalam perenungan. Dalam kesunyian malam ketika dunia terlelap dan hanya ada saya dan Tuhan. Tidak ada debat. Tidak ada adu argumen. Hanya ada rasa.
Bertuhan dalam ketenangan bukan berarti pasif. Tapi lebih pada mengenal Tuhan tanpa gaduh. Tidak merasa perlu membuktikan apa-apa ke orang lain. Karena hubungan saya dengan Tuhan adalah urusan yang sangat pribadi. Tidak untuk dipamerkan, tidak untuk dihakimi.
Ibadah Tak Berakhir di Sajadah
Pelan-pelan saya belajar bahwa ibadah tidak berhenti setelah salam. Justru baru dimulai. Bagaimana saya memperlakukan orang lain, bagaimana saya menjaga lisan, bagaimana saya memilih jujur meski sulit---semua itu adalah bentuk ibadah juga.
Saya tidak ingin menjadi orang yang rajin ibadah ritual tapi lupa ibadah sosial. Saya ingin iman saya terasa di sikap, bukan hanya di sajadah. Karena agama bukan hanya soal hubungan dengan Tuhan, tapi juga hubungan dengan sesama.
Dan pada akhirnya, saya ingin agama membuat saya menjadi manusia yang lebih baik. Lebih lembut, lebih rendah hati, lebih penuh kasih. Karena bagi saya, itu inti dari segala ajaran: menjadi manusia seutuhnya, dengan cinta yang melimpah ke mana-mana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI