Mohon tunggu...
Achi Hartoyo
Achi Hartoyo Mohon Tunggu... https://achihartoyo.id

https://achihartoyo.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dari Ritual Menuju Spiritual

30 April 2025   10:26 Diperbarui: 30 April 2025   10:26 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mulai terbiasa berdialog dengan Tuhan dalam bahasa sehari-hari. Dalam sunyi kamar, dalam hati yang sepi, saya cerita apa adanya. Tentang takut, tentang bingung, tentang syukur. Rasanya lebih dekat, lebih akrab, dan lebih tenang. Karena ternyata, Tuhan tidak sejauh yang saya bayangkan.

Dari Simbol ke Esensi, Dari Gerak ke Inti

Saya mulai menyadari bahwa agama dipenuhi dengan simbol dan tata cara. Dari cara berpakaian, cara berdoa, hingga cara menyapa. Tapi semua itu hanyalah kulit. Jika saya hanya terpaku pada simbol, saya bisa lupa untuk mencari makna di baliknya.

Saya tidak menolak simbol. Tapi saya tidak ingin berhenti di sana. Saya ingin menggali: mengapa saya diminta bersedekah? Mengapa saya dianjurkan berzikir? Apa esensi di balik gerak-gerak itu? Karena saat saya memahami, ibadah tidak lagi terasa berat, tapi justru menjadi kebutuhan jiwa.

Dan ketika saya melihat orang lain berbeda dalam simbol---entah cara beribadah, cara berpakaian, atau cara mengekspresikan iman---saya tidak lagi mudah menghakimi. Karena saya tahu, bisa jadi kita berbeda di kulit, tapi sedang menuju inti yang sama.

Menghidupkan Jiwa, Bukan Mematuhkan Raga

Ada masa di mana saya menjalani ibadah seperti robot. Bangun, wudu, salat, tanpa jeda rasa. Seperti mesin yang tahu harus bergerak, tapi lupa mengapa ia hidup. Lama-lama saya lelah. Karena tubuh saya berjalan, tapi jiwa saya tertinggal jauh.

Saya ingin ibadah yang membuat jiwa saya menyala, bukan yang membuatnya padam. Ibadah yang membuat saya merasa hidup, bukan hanya patuh. Bukan berarti saya mengabaikan aturan, tapi saya ingin setiap gerak itu mengandung kesadaran, bukan paksaan.

Saya percaya, Tuhan tidak hanya ingin tubuh saya taat, tapi juga hati saya ikut hadir. Dan semakin saya merasakan ibadah sebagai dialog, bukan sekadar kewajiban, saya merasa lebih utuh. Lebih damai. Lebih manusiawi.

Beragama dalam Diam, Bertuhan dalam Ketenangan

Ada saatnya saya merasa bising dengan suara-suara tentang agama. Tentang siapa yang paling benar, siapa yang paling salah, siapa yang paling suci. Saya lelah. Dan dalam lelah itu, saya menemukan kedamaian dalam diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun