Tentu tidak semua akan mulus. Tantangan pertama adalah regulasi turunan. PP memberi pintu, tapi harus ada peraturan menteri yang mengakui kontrak digital farmasi secara eksplisit. Kedua, infrastruktur digital. Identitas digital apoteker harus terhubung dengan sistem OSS, STR online, hingga BPJS. Ketiga, budaya profesi. Tidak sedikit apoteker dan pemilik sarana yang masih nyaman dengan pola manual. Butuh edukasi dan perubahan mindset. Terakhir, soal biaya dan literasi teknologi. Mengadopsi blockchain bukan gratis, dan butuh pemahaman yang cukup agar apoteker tidak takut dengan istilah yang terdengar rumit.
Namun, bukankah setiap lompatan sejarah memang selalu dimulai dari tantangan? Sama seperti saat kita dulu beralih dari resep kertas ke e-resep, atau dari pencatatan manual ke sistem informasi farmasi. Semua terasa berat di awal, tapi kini menjadi keniscayaan.
Penutup: Menulis Ulang Kontrak dengan Masa Depan
Era baru ini bukan sekadar soal digitalisasi. Ia tentang keberanian apoteker untuk menulis ulang kontraknya dengan masa depan---kontrak yang lebih pasti, lebih adil, dan lebih cerdas. Blockchain dan smart contract hanyalah alat. Yang menjadikannya bermakna adalah tekad profesi untuk bangkit dari keterpinggiran menuju pengakuan sejati.
PP 28/2025 membuka pintu itu. Pertanyaannya sederhana: apakah apoteker siap melangkah masuk? Jika ya, maka sejarah akan mencatat bahwa profesi ini tidak sekadar mengikuti arus, melainkan berani menjadi pelopor dalam era kontrak cerdas di dunia kesehatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI