Dari PP 28/2025 Menuju Kontrak Masa Depan
Regulasi adalah tanda zaman. Ia seperti pintu yang membuka lorong masa depan. Ketika PP No. 28 Tahun 2025 diundangkan, banyak orang mungkin hanya melihatnya sebagai deretan pasal teknis. Namun bagi profesi apoteker, terutama di era digital yang kian mendesak, pasal-pasal di dalamnya adalah pijakan untuk melompat ke dunia baru: dunia kontrak cerdas atau smart contract berbasis blockchain. Dunia di mana relasi apoteker dan pemilik sarana apotek tidak lagi sekadar ditulis di atas kertas bermaterai, melainkan terekam dalam sistem yang transparan, aman, dan tak bisa dimanipulasi.
Blockchain dalam Bahasa Apoteker
Bayangkan sebuah buku catatan stok obat yang wajib dimiliki apotek. Setiap masuk dan keluar obat tercatat rapi, tidak boleh ada yang dihapus, dan siap diaudit kapan saja. Blockchain bekerja dengan prinsip yang mirip, hanya saja dalam skala digital global. Ia adalah buku besar elektronik yang salinannya tersebar ke banyak komputer. Setiap transaksi yang ditulis di dalamnya terkunci permanen, tidak bisa diubah, dan dapat diperiksa oleh semua pihak yang terhubung.
Inilah yang membuat blockchain menarik untuk farmasi: keamanan data, transparansi distribusi, serta kepastian catatan. Jika di apotek kita mengenal buku narkotika yang superketat, maka blockchain adalah versi digitalnya---tak hanya untuk satu apotek, tapi untuk seluruh jaringan yang saling terhubung.
Apa Itu Smart Contract?
Dari blockchain lahir konsep smart contract. Secara sederhana, ia adalah kontrak digital yang bisa berjalan sendiri. Alih-alih menunggu tanda tangan basah, kontrak ini otomatis mengeksekusi isi perjanjian begitu syarat yang ditentukan terpenuhi. Semua tercatat di blockchain, sehingga tak ada celah untuk mengubah atau mengingkari kesepakatan.
Bayangkan skenario di apotek: seorang apoteker dan pemilik sarana sepakat bahwa honor dibayarkan tiap bulan jika apoteker memenuhi 100 jam praktik. Dengan smart contract, begitu sistem mencatat jam kerja tercapai, pembayaran langsung cair otomatis. Tak perlu lagi diskusi alot di akhir bulan atau rasa was-was soal keterlambatan honor. Atau dalam kasus lain, pembagian keuntungan apotek bisa didistribusikan otomatis sesuai persentase yang telah ditentukan. Semua jelas, semua adil.
PP 28/2025 Pasal 186: Fondasi Hukum
Lantas, apa hubungannya dengan PP No. 28 Tahun 2025? Mari kita tengok Pasal 186. Pasal ini menyebutkan kegiatan usaha terkait penyediaan identitas digital, sertifikat elektronik, hingga layanan berbasis sertifikat tersebut. Di sinilah relevansinya: identitas digital dan sertifikat elektronik adalah dua kunci sahnya kontrak digital di mata hukum Indonesia.
Dengan kata lain, PP ini memberi pintu masuk. Smart contract apoteker--pemilik sarana bisa mendapat pengakuan legal jika dibangun di atas fondasi identitas digital dan sertifikat elektronik. Ia bukan lagi sekadar wacana teknologi, melainkan instrumen hukum yang punya pijakan kuat. Apoteker yang selama ini rawan terpinggirkan dalam relasi kerja kini punya ruang untuk menegakkan hak dan kewajiban melalui mekanisme digital yang sah.
Mengubah Relasi Profesi
Dampaknya pada profesi apoteker sangat signifikan. Pertama, posisi tawar meningkat. Tidak lagi hanya sekadar "penanda tangan SIP", apoteker kini pemegang hak kontrak digital yang diakui hukum. Kedua, transparansi hubungan kerja meningkat. Konflik klasik antara apoteker dan pemilik sarana bisa dikurangi karena semua perjanjian terekam otomatis. Ketiga, perlindungan hukum makin kuat. Dengan sertifikat elektronik, setiap transaksi memiliki bukti sah yang tak bisa dibantah. Dan yang lebih visioner: smart contract membuka jalan bagi praktik mandiri. Seorang apoteker bisa mengikat kontrak langsung dengan pasien atau komunitas untuk layanan farmasi tertentu, dari konseling obat hingga pemantauan terapi.
Bayangan Masa Depan 5--10 Tahun ke Depan
Mari kita sejenak membayangkan. Dalam satu dekade mendatang, apotek berbasis blockchain menjadi hal biasa. Semua distribusi obat, dari pabrik hingga rak apotek, tercatat real-time. Jasa konsultasi farmasi bisa dibayar otomatis begitu sesi layanan selesai, tanpa birokrasi berbelit. Organisasi profesi mengelola jaringan smart contract untuk menstandarkan kualitas layanan dan mengatur kompensasi apoteker. Bahkan, sistem kesehatan nasional mampu menilai kinerja apoteker dengan data digital yang terintegrasi, bukan sekadar laporan manual yang sering kali formalitas.
Gambaran ini bukan utopia. Industri keuangan sudah lebih dulu mengadopsi kontrak cerdas. Dunia farmasi tinggal menunggu momentum regulasi---dan PP 28/2025 memberi isyarat kuat ke arah sana.