Mohon tunggu...
Abiwodo SE MM
Abiwodo SE MM Mohon Tunggu... Bankir - Professional Bankers, Student at UI

Bankers yang selalu fokus terhadap "goal-oriented with an eye for detail, a passion for designing and improving creative processes also expertise in corporate relations" Saat ini sedang menempuh pendidikan S3 di UI.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Quiet Quitting vs Akhlak BUMN

16 September 2022   07:00 Diperbarui: 30 September 2022   10:19 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu kerja tapi ngerasa tanpa makna? Jalanin aja layaknya sebuah hubungan yang tanpa terlalu banyak berharap. Mmm...jangan-jangan kamu sedang kena gejala 'quiet quitting'. Di Amerika Serikat seorang tiktokers bernama Zaidlepellin yang diunggah beberapa bulan yang lalu, mengatakan bahwa saat ini sedang mengalami quiet quitting artinya dia tidak benar-benar keluar dari pekerjaan sekarang namun sudah tidak berpikir lagi soal karir.

Dari fenomena quiet quitting atau 'berhenti diam-diam' ini, beberapa orang mulai punya pandangan yang berbeda soal karir. Mereka tidak lagi mengejar promosi dan berusaha untuk bekerja lebih. Mereka hanya bekerja sesuai deskripsi pekerjaannya, dan bagi mereka posisi saat ini sudah cukup baik.

Quiet quitting ini bukan berarti berhenti bekerja, lho. Mereka hanya berhenti bekerja ketika jam lima sore dan punya waktu luang bersama keluarga. Mungkin inilah normal baru bagi pekerja Gen Z. Karyawan yang berkontribusi lebih justru dianggap unik.

Bicara fenomena quiet quitting, tentu sudah banyak referensi yang bisa kita temukan tentang definisi hingga penyebab kemunculannya. Ada yang bilang akibat work from home di masa pandemi Covid-19 yang melahirkan jam kerja tanpa batas, lantas burn out dan stres. Ada pula yang menganggap karena komunikasi yang tidak lancar antara atasan dan bawahan. Belum lagi perkara honor yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang terus bertambah, termasuk KPI yang harus dicapai dan tuntutan untuk melampaui target.

Alhasil, hadirlah rangkaian impian yang sederhana nan realistis. Yaitu, mengejar kualitas hidup dan ogah stres dengan penghasilan yang tidak sesuai pekerjaan. Bahkan sepertinya muncul idealisme baru di kalangan Gen-Z, yakni, tidak lagi mengejar 'pekerjaan impian', melainkan pekerjaan yang bisa menyokong impian.

Gayung bersambut. Dari quiet quitting, kini muncul fenomena 'quiet firing' atau pemecatan diam-diam dari sisi perusahaan. Sebuah nama baru dari jurus klasik perusahaan, yakni, mengeluarkan karyawan tanpa memecat dan membayar pesangon. Salah satu taktik yang termashur adalah membangun situasi tidak nyaman bagi karyawan. Bisa dengan memberikan pekerjaan lebih dan target yang tidak masuk akal, menyunat honor, selalu disalahkan, dan lain-lain.

Miris! Mungkin ini kata yang tepat untuk menggambarkan pandangan saya pada fenomena quiet quitting dan quiet firing. Boleh jadi karena saya adalah profesional perbankan yang kebetulan di bank milik negara alias bank BUMN, yang sudah tertanam kuat ihwal budaya kerja, melayani negeri, dan bicara kemajuan bangsa.

Sedikit beralih dari pembahasan quiet quitting, mungkin para pembaca masih ingat tentang AKHLAK, akronim dari Amanah; Kompeten; Harmonis; Loyal; Adaptif; dan Kolaboratif, yang merupakan Core Values dari BUMN. Saya merasa core values ini menjadi benteng atas fenomena-fenomena tadi, setidaknya bagi saya pribadi.

Akhlak BUMN tersebut sudah menjadi panduan perilaku dari setiap sumber daya manusia (SDM) BUMN untuk diimplementasikan dalam perilaku keseharian, lantas berhasil membentuk budaya kerja di BUMN. Poinnya, tanpa disadari Akhlak BUMN menjadi sangat relevan dengan fenomena quiet quitting dan quiet firing yang sedang viral ini.

Core value serupa Akhlak BUMN ini tampaknya bisa menjadi penyelamat di tengah benturan quiet quitting dengan quiet firing. Di dalamnya terdapat proses internalisasi nilai agar semua komponen sumber daya di perusahan memiliki satu kesamaan cara pandang dan arah. Seperti derasnya arus sungai yang disuplai dari anak-anak sungai, semuanya mengarah ke laut dengan arus yang deras dan volume yang besar. Demikian pula internalisasi visi yang bisa menguatkan pencapaian visi perusahaan sekaligus menjaga kesinambungannya.

Yang pasti, wujud dan pengaktifan internalisasi nilai ini sangat dipengaruhi oleh bermacam stimulasi yang ada di lingkungan sekitar. Dalam konteks ini, pemimpin dan jajaran top manajemen diuji kemampuannya. Harapannya, muncul budaya kerja, karakter juga kepribadian yang bertanggung jawab dalam diri setiap orang yang ada di perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun