Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional merupakan langkah konstitusional yang strategis dalam menjawab berbagai permasalahan prosedural yang selama ini membayangi pelaksanaan pemilu serentak di Indonesia. Melalui Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang ditetapkan pada 26 Juni 2025, Mahkamah menilai bahwa model Pemilu Serentak "Lima Kotak" yang diterapkan sejak 2019 telah menimbulkan sejumlah persoalan mendasar, baik dari aspek teknis, administratif, maupun kemanusiaan.[1] Beban kerja yang berlebihan bagi penyelenggara di tingkat TPS, kerumitan logistik dan distribusi surat suara, serta tingginya tingkat kelelahan petugas hingga menimbulkan korban jiwa menjadi alasan kuat bagi MK untuk mengoreksi desain pemilu tersebut.
Â
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa demokrasi prosedural tidak boleh mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, pemisahan antara Pemilu Nasional (Presiden, DPR, dan DPD) dan Pemilu Lokal (DPRD serta Kepala Daerah) dipandang sebagai solusi sistemik yang dapat meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemilu, menjaga fokus pemilih, serta mengurangi kompleksitas teknis yang membebani aparat penyelenggara. Pemisahan ini juga diharapkan mampu memperkuat kualitas partisipasi politik masyarakat, karena pemilih akan lebih leluasa menilai kandidat berdasarkan isu dan kebutuhan di masing-masing level pemerintahan.[2]
Â
Dengan demikian, putusan MK tersebut bukan hanya bersifat teknis administratif, tetapi juga mengandung nilai filosofis dan normatif sebagai bentuk evaluasi terhadap praktik demokrasi elektoral Indonesia. Pemilu yang konstitusional, menurut MK, adalah pemilu yang tidak sekadar berjalan lancar secara prosedural, tetapi juga mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, asas proporsionalitas, serta efisiensi dalam penyelenggaraan kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, pemisahan Pemilu Lokal dan Nasional mulai 2029 menjadi momentum penting untuk memperbaiki tata kelola pemilu, memperkuat legitimasi demokrasi, serta menegaskan komitmen negara terhadap prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan berperikemanusiaan.
Â
Model pemisahan Pemilu yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 membagi penyelenggaraan Pemilu di Indonesia ke dalam dua siklus utama, yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal (Daerah).[3]
Â
Pada Pemilu Nasional, masyarakat akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan demikian, dalam siklus ini pemilih akan menerima tiga surat suara, yang masing-masing merepresentasikan lembaga-lembaga utama dalam struktur pemerintahan nasional.
Sementara itu, Pemilu Lokal (Daerah) mencakup pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, serta anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam model ini, pemilih akan berpartisipasi menggunakan empat surat suara, yang menggambarkan perwujudan kedaulatan rakyat di tingkat daerah melalui pemilihan legislatif dan eksekutif daerah secara langsung.[4]
Â