Â
Munajat
Â
I
kau pilih aku sebagai penyair-Mu
seruas bambu yang tak mengenal lagu
hanya sajadah lusuh kuhamparkan ke debu
kala dalam keharuan kutatap wajah-Mu
Â
para pujangga datang dengan beribu puisi
berselampang rahmat bunga surgawi
tak mampu terucap sepatah kata puji
hanya rindu makin erat kudekap ke hati-
kelak bila seluruh kidung selesai ditembangkan
izinkanlah daku menyerahkan diri pada Kesunyian
Â
Kau tunjuk aku sebagai pemetik harpa-Mu
sebuah kaleng rombeng di antara orkestrasi musik dunia
suara mampat di tengah keselarasan agung semesta,
para kekasih berkidung madah kemabukan cinta
diiringkan tarian ritmis berjuta warga antariksa
malu aku mengeluhkan doa
di antara harmoni nada-nada agung kecapi-Mu
kutundukkan saja wajah
dan kusembunyikan telapak tanganku yang kapalan-
kelak bila seluruh kekasih meninggalkan perhelatan
perkenankanlah di kaki-Mu daku menangis diam-diam
Â
II
Adakah negeri teduh tempat tetirah dunia
di mana badai luruh jadi semilir senja
dan kebisuan taksa menafsir aksara?
aku berkaca pada langit
pada kerinduan makin menggigit
Â
Adakah negeri keabadian malam
di mana laut tak lagi melahirkan gelombang
dan jiwa kalis mengemban risalah kegelisahan?
begitu mutlak waktu menuntut penyerahan
betapa goncang hati oleh seringai malam
namun Kau begitu tak berkesudahan!
Â
Wahai!
Aku mengemis ke lorong-lorong sepi-Mu
Walau dunia berteriak-teriak mengemis kepadaku!
Aku bermalam di teratak-teratak dingin gubuk-Mu
Walau beribu gerbang istana terbuka untukku!
Aku bersimpuh pada mihrab-mihrab bekas terompah-Mu
Walau kehidupan bersembah takzim di bawak telapak kakiku!
Isilah gelas Kesunyian ini
barang seujung kuku, O Tuanku!
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI