Pertanyaannya: Apakah mungkin mempertahankan gaya hidup minimalis di tengah gelombang konsumsi digital yang tak ada habisnya?
Minimalisme: Lebih dari Sekadar Tidak Boros
Minimalisme bukan sekadar hidup hemat atau anti-beli barang baru. Lebih dalam dari itu, minimalisme adalah kesadaran untuk hidup dengan apa yang benar-benar dibutuhkan, yang memberi nilai dan makna.
Konsep ini makin populer setelah buku *The Life-Changing Magic of Tidying Up* oleh Marie Kondo dan dokumenter *The Minimalists* viral. Banyak orang mulai "decluttering" rumah, pakaian, bahkan isi kepala. Tujuannya bukan irit, tapi menciptakan ruang---baik fisik maupun mental---untuk hal-hal yang benar-benar penting.
Konsumerisme Digital: Ketika Keinginan Diubah Jadi Kebutuhan
Namun di sisi lain, kita juga hidup dalam dunia yang dibentuk oleh platform-platform sosial media yang secara aktif mendesain keinginan. Instagram, TikTok, dan YouTube bukan hanya tempat berbagi momen---mereka telah menjadi etalase digital dari gaya hidup impian yang terus diperbaharui tiap scroll.
Influencer mempromosikan skincare terbaru, gadget tercanggih, atau outfit "wajib punya" minggu ini. Belum sempat mempertanyakan, kita sudah terdorong untuk meng-klik, menambah ke keranjang, dan check out.
Studi dari Harvard Business Review (2023) menunjukkan bahwa media sosial mempercepat keputusan belanja impulsif hingga 42%. Mengapa? Karena manusia cenderung lebih mudah terpengaruh ketika melihat rekomendasi dari figur yang dianggap "authentic", meskipun mereka sebenarnya bagian dari sistem pemasaran.
Kebutuhan vs Keinginan: Tipis Tapi Penting
Seringkali, batas antara kebutuhan dan keinginan makin kabur di era digital. Contoh:
- Apakah kita benar-benar butuh HP flagship terbaru, atau hanya ingin merasa lebih up-to-date?
- Apakah skincare 10-step itu kebutuhan kulit kita, atau hasil FOMO karena tren?
Di sinilah gaya hidup minimalis menjadi alat refleksi. Ia mengajak kita bertanya:Â "Apakah barang ini menambah nilai dalam hidupku, atau hanya akan jadi debu dalam laci bulan depan?"
Ketika Konsumsi Jadi Beban
Efek negatif dari konsumerisme digital tidak main-main:
Kesehatan finansial: Banyak anak muda terjebak dalam utang PayLater demi mengikuti lifestyle online.
- Kesehatan mental: Fenomena "comparison fatigue" membuat kita terus merasa kurang cukup karena membandingkan diri dengan standar yang kita lihat di layar.
- Lingkungan: Konsumsi cepat menghasilkan sampah cepat. Fast fashion, misalnya, menjadi salah satu industri penyumbang limbah terbesar di dunia.
Pendapat Saya: Perlu Bukan Anti, Tapi Sadar
Menurut saya pribadi, gaya hidup minimalis bukan berarti menolak teknologi atau anti-kemajuan. Justru kita harus berdamai dengan teknologi, sambil menjaga kesadaran atas apa yang kita konsumsi---baik secara fisik maupun digital.
Sebagai penulis, saya juga memakai media sosial. Saya melihat manfaatnya dalam edukasi dan koneksi. Tapi saya juga sadar bahwa setiap konten yang saya lihat bisa jadi trigger untuk belanja atau merasa kurang. Maka, saya memilih untuk mengkurasi timeline, membatasi waktu screen time, dan tidak langsung percaya pada rekomendasi yang belum saya riset.
Bagi saya, hidup minimalis bukan hidup miskin, tapi hidup cukup. Dan cukup itu adalah keputusan sadar, bukan pengaruh dari algoritma.
Mungkin Gak? Bisa Banget
Menjalani gaya hidup minimalis di tengah dunia digital yang penuh rayuan bukan hal mudah. Tapi bukan berarti mustahil. Kita hanya perlu:
- Sadar bahwa keinginan itu bisa dipicu, bukan murni dari dalam. Â
- Mengenali nilai diri bukan dari barang, tapi dari makna hidup. Â
- Memilih untuk memiliki lebih sedikit, agar bisa merasakan lebih banyak.
Di akhir hari, gaya hidup bukan soal tren, tapi soal keputusan.
Ditulis oleh: [ABDUR RAHMAN WAHID] Â
Blogger Kompasiana | Pemerhati gaya hidup modern dan keseimbangan digital
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI