Di sinilah gaya hidup minimalis menjadi alat refleksi. Ia mengajak kita bertanya:Â "Apakah barang ini menambah nilai dalam hidupku, atau hanya akan jadi debu dalam laci bulan depan?"
Ketika Konsumsi Jadi Beban
Efek negatif dari konsumerisme digital tidak main-main:
Kesehatan finansial: Banyak anak muda terjebak dalam utang PayLater demi mengikuti lifestyle online.
- Kesehatan mental: Fenomena "comparison fatigue" membuat kita terus merasa kurang cukup karena membandingkan diri dengan standar yang kita lihat di layar.
- Lingkungan: Konsumsi cepat menghasilkan sampah cepat. Fast fashion, misalnya, menjadi salah satu industri penyumbang limbah terbesar di dunia.
Pendapat Saya: Perlu Bukan Anti, Tapi Sadar
Menurut saya pribadi, gaya hidup minimalis bukan berarti menolak teknologi atau anti-kemajuan. Justru kita harus berdamai dengan teknologi, sambil menjaga kesadaran atas apa yang kita konsumsi---baik secara fisik maupun digital.
Sebagai penulis, saya juga memakai media sosial. Saya melihat manfaatnya dalam edukasi dan koneksi. Tapi saya juga sadar bahwa setiap konten yang saya lihat bisa jadi trigger untuk belanja atau merasa kurang. Maka, saya memilih untuk mengkurasi timeline, membatasi waktu screen time, dan tidak langsung percaya pada rekomendasi yang belum saya riset.
Bagi saya, hidup minimalis bukan hidup miskin, tapi hidup cukup. Dan cukup itu adalah keputusan sadar, bukan pengaruh dari algoritma.
Mungkin Gak? Bisa Banget
Menjalani gaya hidup minimalis di tengah dunia digital yang penuh rayuan bukan hal mudah. Tapi bukan berarti mustahil. Kita hanya perlu:
- Sadar bahwa keinginan itu bisa dipicu, bukan murni dari dalam. Â
- Mengenali nilai diri bukan dari barang, tapi dari makna hidup. Â
- Memilih untuk memiliki lebih sedikit, agar bisa merasakan lebih banyak.
Di akhir hari, gaya hidup bukan soal tren, tapi soal keputusan.