4. Sawit Indonesia: ESG dan Narrative Warfare
Dalam dua dekade terakhir, industri sawit Indonesia menghadapi serangan sistematis berbasis standar ESG (Environmental, Social, Governance). Uni Eropa misalnya mengeluarkan regulasi deforestasi yang secara langsung menekan ekspor sawit. Kampanye media Barat menarasikan sawit sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan, meski data menunjukkan kontribusinya terhadap emisi global relatif kecil dibanding sektor lain. ESG di sini berfungsi sebagai non-tariff barrier yang menutup akses pasar dengan alasan moral-legal. Bagi Indonesia, ini bukan hanya soal dagang, tetapi juga perang narasi: sawit diposisikan sebagai ancaman lingkungan, padahal bagi 17 juta orang, industri ini adalah sumber penghidupan. Kasus sawit memperlihatkan bagaimana narrative and legal warfare dipakai untuk mengendalikan pasar dan memaksa adopsi standar global tertentu.
Keempat studi kasus ini menggambarkan wajah konkret Globalis Order: dari financial leverage (IMF), kontrak jangka panjang (Freeport), kombinasi sanksi dan rekonstruksi (Ukraina), hingga standar narasi global (sawit). Pola-pola ini menunjukkan bahwa meski bentuknya berganti sesuai zaman, logika dasarnya sama: mengatur alokasi sumber daya, modal, dan legitimasi melalui mekanisme kontrak dan standar internasional.
Implikasi & Jalan ke Depan
Fragmentasi tatanan globalis (globalis order) menandai pergeseran besar dalam arsitektur politik-ekonomi internasional. Jika pada dekade 1990--2000-an dunia relatif berada di bawah satu horizon unipolar dengan dominasi Washington Consensus, maka kini muncul kompetisi blok-blok regional yang memaksakan keragaman model pembangunan, keuangan, dan tata kelola. BRICS misalnya, berupaya memperluas pengaruh lewat instrumen mata uang lokal (Local Currency Transaction/LCT) serta membangun bank pembangunan alternatif untuk mengurangi dominasi IMF--World Bank. ASEAN juga menguji kemandiriannya melalui penguatan instrumen pembayaran lintas negara seperti QRIS Cross-Border, yang secara implisit menjadi antitesis dari dominasi sistem keuangan berbasis dolar.
Namun, resistensi dari kubu globalis tidak melemah. Justru, standar baru semakin dipertegas melalui mekanisme Environmental, Social, and Governance (ESG), agencies pemeringkat kredit, serta narrative warfare yang menekankan isu HAM, demokrasi, dan lingkungan sebagai prasyarat legitimasi politik maupun akses keuangan internasional. Dalam konteks ini, muncul paradoks: semakin kuat upaya de-dolarisasi dan multipolarisasi, semakin agresif pula penegakan standar global yang dirancang untuk tetap mengikat negara berkembang dalam orbit tata kelola globalis.
Bagi Indonesia, dinamika ini membawa tantangan sekaligus peluang. Tantangan terbesar adalah menjaga kedaulatan fiskal di tengah tekanan utang, rating agencies, dan conditionalities internasional. Selain itu, narrative defense menjadi kebutuhan mendesak: kemampuan mengartikulasikan posisi Indonesia dengan narasi yang berakar pada kepentingan nasional, bukan sekadar mengulang diksi yang dirancang oleh lembaga global. Lebih jauh, Indonesia perlu bertransformasi dari "follower" standar global menjadi "standard setter". Gagasan pengembangan Indeks Nusantara---sebuah standar lokal yang mengukur keberlanjutan, keadilan sosial, serta kedaulatan ekonomi dengan perspektif Indonesia---dapat menjadi contoh upaya untuk menyeimbangkan penetrasi standar global dengan kearifan dan kebutuhan domestik.
Dengan demikian, jalan ke depan bukan semata menolak atau tunduk pada globalis order, melainkan merumuskan posisi strategis dalam lanskap multipolar. Indonesia dapat memainkan peran sebagai "bridge state" yang mampu menjembatani kepentingan antarblok, sembari memperkuat arsitektur internal yang melindungi kedaulatan fiskal, narasi, dan standar nasional. Di sinilah peluang Indonesia untuk tidak sekadar menjadi objek dari tatanan global yang terfragmentasi, melainkan menjadi aktor yang ikut membentuk arah baru dunia.
Policy Options untuk Indonesia
1. Kedaulatan Fiskal dan Keuangan
Indonesia perlu membangun buffer keuangan yang lebih kuat untuk mengurangi ketergantungan pada lembaga globalis (IMF, World Bank, rating agencies).