Sebagai orang tua dari empat anak yang semuanya mengenyam pendidikan di salah satu sekolah swasta elit di Bekasi---mulai dari playgroup, TK, SD, SMP hingga SMA---saya menyaksikan langsung bagaimana acara wisuda menjadi tradisi tahunan yang megah di semua jenjang. Tapi satu pertanyaan mendasar muncul dari hati saya: apakah semua kemegahan ini benar-benar berkaitan dengan mutu pendidikan?
Hampir setiap tahun, gedung megah milik yayasan sendiri "disewa" kembali untuk acara wisuda. Ironis memang---gedung yang dibangun dari dana masyarakat, uang SPP, dan iuran rutin justru menjadi komoditas baru. Disulap menjadi venue mewah lengkap dengan panggung sorotan lampu, musik orkestra, dan dekorasi layaknya resepsi pernikahan. Seolah keberhasilan pendidikan ditentukan dari kemewahan seremoni, bukan dari kedalaman belajar atau karakter lulusan.
Komunitas Orang Tua dan Panggung Gengsi
Dalam komunitas orang tua---khususnya para ibu---wisuda sering kali berubah menjadi ajang adu gengsi dan eksistensi sosial.
Make-up artis terkenal dipesan jauh-jauh hari, baju disesuaikan dengan tema acara, bahkan sesi foto keluarga pun menyerupai pemotretan majalah lifestyle. Bukan tak jarang, orang tua justru lebih sibuk dengan penampilan daripada merenungkan proses pendidikan anaknya.
Padahal, semestinya wisuda adalah momen refleksi. Momen menyadari sejauh mana anak-anak bertumbuh, bukan seberapa indah mereka tampil di atas panggung.
Bimbel Menjamur: Siapa yang Sebenarnya Mendidik?
Coba tengok fenomena di sekitar sekolah mahal: bimbingan belajar menjamur mengitari sekolah-sekolah elit. Di hari-hari biasa, jalanan sekitar sekolah ramai bukan hanya oleh jemputan, tetapi juga oleh kendaraan yang mengantar anak ke tempat les tambahan---bahkan dari usia TK hingga SMA.
Bayangkan, orang tua sudah membayar mahal untuk sekolah, namun tetap merasa perlu membayar lagi untuk les, kursus bahasa Inggris, dan bimbel intensif, terutama menjelang masuk perguruan tinggi. Jika materi di sekolah dan bimbel sama, mengapa harus bayar dua kali?
Mengapa sekolah tidak berani menyusun sistem full-day learning yang efektif, agar anak tidak kehabisan waktu berpindah dari satu tempat belajar ke tempat lainnya? Atau harus kita akui: sekolah memang tidak cukup?
Lalu jika anak berhasil masuk PTN favorit, siapa yang berhak mengklaim sukses itu? Sekolah? Bimbel? Atau justru ketekunan pribadi sang anak dan dompet orang tuanya?
Prestasi atau Ilusi?