Hari Kartini kembali datang.Seperti biasa, kebaya bermunculan, parade budaya digelar, dan unggahan-unggahan bertagar #HariKartini membanjiri media sosial. Namun, di tengah hingar-bingar perayaan simbolik, mari kita ajak hati ini sejenak bertanya:Apakah kita masih paham benar apa yang diperjuangkan Kartini? Atau kita hanya mengulang rutinitas tahunan tanpa makna?
Kartini bukan sekadar tokoh yang kita pajang fotonya di dinding sekolah atau kutip kata-katanya untuk caption. Ia adalah pemikir. Pemantik perubahan. Perempuan muda yang gagasannya menerobos zaman, bahkan ketika ia sendiri belum pernah keluar dari tanah Jawa.
Dalam surat-suratnya yang terkumpul dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini tidak sedang mencari popularitas. Ia tidak sedang "cari panggung." Ia menulis untuk menggugat ketidakadilan, untuk membela hak perempuan, untuk menyuarakan bahwa perempuan juga manusia --- yang berpikir, merasakan, dan berhak memilih jalan hidupnya sendiri.
Kartini bicara tentang kecerdasan, kebebasan berekspresi, dan budi pekerti. Tiga pilar penting yang kini justru sering dilupakan ketika semangat emansipasi ditelan oleh budaya viralitas dan sensasi semu.
Di era sekarang, emansipasi sering dipelintir menjadi dalih untuk bebas sebebas-bebasnya, tanpa peduli pada nilai, etika, dan tanggung jawab sosial.
Perempuan yang seharusnya menjadi garda moral, justru kadang tergelincir menjadi simbol pencitraan---asal tampil, asal ramai, asal dibicarakan, walau dari sisi negatif.
Padahal, Kartini tidak pernah mengajarkan kita untuk menjual harga diri demi sorotan kamera. Ia tidak menulis surat agar kelak dikenang sebagai ikon fashion, tapi sebagai ikon pemikiran.
Hari ini, tidak sedikit perempuan yang rela membuka aib keluarga, memamerkan drama rumah tangga, bahkan menyeret anak-anak dalam polemik publik demi konten dan eksistensi digital. Viral jadi tujuan, bukan lagi kebermanfaatan.
Padahal, perempuan sejatinya adalah penjaga.
Penjaga martabat, penjaga nilai, dan penjaga benteng terakhir keluarga dari kerusakan sosial yang makin brutal.
Perempuan yang cerdas bukan yang paling banyak bicara, tapi yang tahu kapan harus diam.
Perempuan yang merdeka bukan yang bebas tanpa arah, tapi yang tahu ke mana arah dirinya dan keluarganya menuju.
Dan perempuan yang kuat bukan yang tampil mencolok di depan publik, tapi yang mampu berdiri kokoh di balik layar, memastikan anak-anaknya tumbuh dengan nilai, bukan hanya follower.
Kartini juga percaya bahwa perempuan adalah agen perubahan yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari. Di dalam rumah, perempuan punya kuasa besar untuk mencegah bibit korupsi lahir sejak dini. Ia bisa mengontrol gaya hidup suami, mengajarkan kejujuran pada anak-anak, dan menjadi rem ketika ambisi mulai menabrak nilai.
Lebih baik mencegah, daripada menyesal punya koruptor kronis dalam keluarga.
Perempuan yang tangguh adalah yang bisa berkata "cukup," ketika nafsu ingin lebih mulai menumpulkan logika.
Perempuan yang berani adalah yang berani hidup bersih, bukan yang berani tampil nyentrik tanpa isi.