Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Zikir dan Satir, Mempertahankan Keberanian Menulis di Bulan Ramadhan

5 Maret 2025   04:36 Diperbarui: 5 Maret 2025   04:36 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kritik dan opini harus hadir (foto-Pexels.com)

Menulis di Bulan Ramadhan -- Semangat atau Dilema?

Ramadhan selalu datang dengan nuansa yang berbeda. Ada yang semakin tekun beribadah, ada yang berlomba dalam kebaikan, dan ada pula yang tiba-tiba lebih banyak diam, entah karena refleksi diri atau sekadar takut salah bicara. Namun bagi seorang penulis, Ramadhan adalah ujian tersendiri. Apakah tetap menulis dengan semangat yang sama? Apakah kritik sosial masih boleh dilontarkan di bulan yang katanya penuh ampunan?

Sebagai seorang yang terbiasa menulis satir, saya tahu betul bahwa bulan ini punya tantangannya sendiri. Biasanya, saya bisa dengan lincah menguliti absurditas politik, membongkar borok para pejabat, atau sekadar menyentil fenomena sosial yang kerap tertutupi euforia. Tapi di bulan Ramadhan? Wah, tiba-tiba banyak suara yang mengatakan, "Udah, bulan puasa nih, mending nulis yang adem-adem aja."

Saya jadi teringat teman saya, seorang jurnalis senior, yang di awal Ramadhan mengunggah tulisan tentang seorang pejabat yang sibuk membagikan sembako sambil senyum lebar ke kamera. "Bukankah ini bagian dari pencitraan?" tanyanya dalam tulisannya. Sontak, ada yang membalas dengan nyinyir, "Kasihlah dia kesempatan berbuat baik, ini bulan suci."

Kalau begitu, apakah Ramadhan adalah bulan di mana kita harus menutup mata terhadap kenyataan?

Satir, Dosa atau Pahala?

Setiap kali saya menulis satir, selalu ada yang bertanya, "Kamu nggak takut dosa?" Seolah-olah menulis dengan nada menggelitik tapi menyindir adalah perbuatan yang bisa membatalkan pahala puasa.

Tapi bukankah Innamal a'malu bin niyyat---segala sesuatu tergantung dari niatnya? Jika niat saya menulis adalah untuk mengingatkan, bukan menjatuhkan, apakah itu masih disebut dosa? Kalau seorang koruptor yang kedapatan membangun masjid dari uang hasil mencuri uang rakyat, lalu saya menulis tentang ironi itu, apakah saya ghibah atau justru sedang beramar ma'ruf nahi munkar?

Saya selalu ingat kisah seorang ulama besar yang ditanya tentang mengkritik penguasa. Dia menjawab, "Kalau dengan kritik kita bisa mencegah kebatilan, mengapa tidak?" Artinya, kritik itu bukan soal merendahkan seseorang, tetapi soal memberi peringatan agar tidak ada yang semakin terlena dalam kesalahan.

Kalau satir bisa menyadarkan, mungkin menulis sindiran di bulan Ramadhan justru berpahala.

Kritis Itu Wajib, Agar Ada Kontrol Sosial

Dunia tanpa kritik adalah dunia tanpa keseimbangan. Bayangkan kalau semua orang memilih diam hanya karena takut dianggap "tidak sopan" atau "mengganggu kenyamanan." Bukankah korupsi tetap merajalela bukan karena kurangnya ibadah, tapi karena kurangnya kontrol sosial?

Dalam Ihya' Ulumiddin, Imam Al-Ghazali mengutip sebuah doa dari Sayyidina Umar ra:

"Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang menunjuki kekuranganku."

Lihatlah betapa seorang pemimpin besar seperti Umar ra tidak hanya menerima kritik, tetapi bahkan mendoakan mereka yang mengoreksi dirinya. Karena bagi beliau, teguran bukanlah bentuk perlawanan, tetapi cermin untuk memperbaiki diri.

Namun, di zaman sekarang, mengkritik pejabat justru bisa dianggap sebagai ancaman. Padahal, jika pemimpin benar-benar peduli pada rakyat, mereka seharusnya bersyukur ada yang mengingatkan. Yang aneh, justru yang mengkritik sering dituduh menyebarkan kebencian, sementara yang menjilat dianggap bijak dan loyal.

Menulis kritis bukan berarti menghilangkan nuansa Ramadhan. Justru, ini adalah cara untuk memastikan bahwa kebaikan bukan sekadar seremonial, tapi juga berakar dalam sistem yang lebih besar. Jika ada pejabat yang membangun masjid tapi masih menggelapkan dana bansos, apakah kita harus diam?

Ramadhan bukan alasan untuk membungkam kebenaran. Justru, di bulan yang suci ini, kita seharusnya lebih peka terhadap kebatilan dan lebih berani untuk berbicara. Bukan dengan kebencian, bukan dengan hujatan, tapi dengan kritik yang membangun dan satir yang menyadarkan.

Menulis di bulan Ramadhan adalah bagian dari ibadah, selama niatnya tetap lurus. Zikir adalah penyucian hati, satir adalah penyadaran akal. Keduanya bisa berjalan beriringan, tanpa harus kehilangan jati diri sebagai seorang yang mencari kebenaran.

Jadi, apakah Ramadhan harus membuat kita berhenti menulis kritis? Saya rasa, justru inilah saatnya pena harus lebih tajam dari sebelumnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun