Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Zikir dan Satir, Mempertahankan Keberanian Menulis di Bulan Ramadhan

5 Maret 2025   04:36 Diperbarui: 5 Maret 2025   04:36 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kritik dan opini harus hadir (foto-Pexels.com)

Dunia tanpa kritik adalah dunia tanpa keseimbangan. Bayangkan kalau semua orang memilih diam hanya karena takut dianggap "tidak sopan" atau "mengganggu kenyamanan." Bukankah korupsi tetap merajalela bukan karena kurangnya ibadah, tapi karena kurangnya kontrol sosial?

Dalam Ihya' Ulumiddin, Imam Al-Ghazali mengutip sebuah doa dari Sayyidina Umar ra:

"Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang menunjuki kekuranganku."

Lihatlah betapa seorang pemimpin besar seperti Umar ra tidak hanya menerima kritik, tetapi bahkan mendoakan mereka yang mengoreksi dirinya. Karena bagi beliau, teguran bukanlah bentuk perlawanan, tetapi cermin untuk memperbaiki diri.

Namun, di zaman sekarang, mengkritik pejabat justru bisa dianggap sebagai ancaman. Padahal, jika pemimpin benar-benar peduli pada rakyat, mereka seharusnya bersyukur ada yang mengingatkan. Yang aneh, justru yang mengkritik sering dituduh menyebarkan kebencian, sementara yang menjilat dianggap bijak dan loyal.

Menulis kritis bukan berarti menghilangkan nuansa Ramadhan. Justru, ini adalah cara untuk memastikan bahwa kebaikan bukan sekadar seremonial, tapi juga berakar dalam sistem yang lebih besar. Jika ada pejabat yang membangun masjid tapi masih menggelapkan dana bansos, apakah kita harus diam?

Ramadhan bukan alasan untuk membungkam kebenaran. Justru, di bulan yang suci ini, kita seharusnya lebih peka terhadap kebatilan dan lebih berani untuk berbicara. Bukan dengan kebencian, bukan dengan hujatan, tapi dengan kritik yang membangun dan satir yang menyadarkan.

Menulis di bulan Ramadhan adalah bagian dari ibadah, selama niatnya tetap lurus. Zikir adalah penyucian hati, satir adalah penyadaran akal. Keduanya bisa berjalan beriringan, tanpa harus kehilangan jati diri sebagai seorang yang mencari kebenaran.

Jadi, apakah Ramadhan harus membuat kita berhenti menulis kritis? Saya rasa, justru inilah saatnya pena harus lebih tajam dari sebelumnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun