Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jika Presiden dan Wapres "Tidak Ada" Bersamaan, Triumvirat Ini Berkuasa

23 Oktober 2019   15:32 Diperbarui: 23 Oktober 2019   16:00 2799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasal 8, UUD 1945 yang telah disempurnakan (amandemen ke 4 pada 2002) pada ayat (3) menyebutkan : Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.

Selanjutnya MPR diberi waktu 30 hari untuk memilih Presiden dan Wapres baru dari urutan terbanyak dan kedua hasil pemilu guna mengisi kekosongan tersebut hingga berakhir.

Pengertian"mangkat"; "Berhenti"; "Diberhentikan"; atau lain-lain penulis singkat dengan frase "Tidak Ada" sebagaimana pada judul di atas. Telah dijelaskan yang menjalankan tugas kenegaraan jika Presiden dan Wapres secara serentak tidak ada maka yang berperan adalah "Triumvirat" yaitu Mendagri, Menlu dan Menhan.

Sebagaimana diketahui "Triumvirat" 3 tombak utama punggawa negara dan pemerintahan kita yang baru ditunjuk dalam kabinet Indonesia Maju, adalah Retno LP Marsudi sebagai Menlu, Tito Karnavian sebagai Mendagri dan Prabowo Subianto sebagai Menhan. Mereka inilah yang berperan jika terjadi kekosongan kekuasaan alias "Presiden dan wapresnya tidak ada secara serentak" setidaknya untuk waktu maksimal 30 hari. 

Tanpa bermaksud hal itu terjadi, dari tiga punggawa itu siapakah yang paling agresif dan paling berperan mempengaruhi diantaranya?

Tanpa bermaksud melemahkan ibu Retno LM Marsudi karena seorang wanita tapi kita dapat melihat tingkah laku ibu yang lemah gemulai tapi cerdas ini bukanlah tipe politikus yang agresif melainkan diplomat ulung sebagai penghubung komunikasi diplomatik, bukan politik. Untuk bersaing dalam kancah politik kotor bin kejam tampaknya bukan arena yang tepat untuk Retno di sana.

Tito Karnavian adalah Jendral Polisi. Meski menjelang purnawirawan tapi darah dan tipe atau style diplomasinya sangat kental berkarakter reserse dan intelijen. Melihat,mengamati, mempelajari dan mencocokkan fakta dengan bukti-bukti adalah gayanya yang mendarah daging sebelum melakukan aksi.

Untuk urusan mengisi kekosongan waktu  (cuma punya waktu 30 hari) tampaknya bukan waktu yang luang bagi Tito guna menghimpun kekuatan mempengaruhi MPR memilih pilihan Tito apalagi guna memilih Tito. Beliau tak akan bersifat defensif tapi obyektif mengikuti mekanisme pemilihan yang berlaku untuk menentukan siapapun yang dipilih dan ditunjuk oleh MPR termasuk kemungkinan terhadap dirinya sendiri.

Bagaimana dengan Prabowo Subianto?

Sebagai politkus kakap, keras dan kondang, papan atas yang telah mengenyam beberapa kali gagal jadi Wapres  dan gagal jadi jadi Presiden tidak usah dijelaskan lagi bagaimana Prabowo telah "mengajari" kita menjadi politkus yang keras bagai batu cadas dan agresif bagaikan singa yang mempertahankan kawasannya dari incaran pesaingnya.

Prabowo telah memperlihatkan pada kita cara berpolitik secara agresif bahkan kadang-kadang menjurus destruktif, kadang irasional dalam berkata dan bertindak pada saat - saat terntu misal pada saat kampanye hitam dalam persaingan pilpres 2014 - 2019 dan 2019 - 2024 lalu. Tak perlu menyebutkan satu persatu di sini, tapi sikap itu bukan lagi rahasia baru baru masyarakat Inonesia.

Berdasarkan perimbangan peluang di atas tampaknya jelas hanya Prabowo Subianto yang paling agresif diantara Triumvirat yang ada. Dengan taktik agresifnya Prabowo akan menyusun kekuatan dan upaya-upaya mempengaruhi MPR untuk mempermulusnya jadi Presiden mengisi kekosongan yang terjadi. 

Prabowo tidak akan menyia-nyiakan kesempatan akhir tersebut meskipun tanpa melakukan hal itu pun secara konstitusional sebagaimana disebutkan di atas UU memberi hak pada  MPR menunjuk calon ke dua suara terbanyak dari hasil pemilu terakhir. 

Belajar dari pengalaman unik dan aneh yang jadi kebiasaan politkus negara ini yang menggunakan berbagai dalil dan opini bisa menggagalkan Prabowo. 

Oleh karenanya sang maestro Gerindra ini tidak akan defensif apalagi membuang momentum yang ada. Para pendukung dan Prabowo akan bertindak super agresif guna mempengaruh kondisi agar ia berhasil maju menggantikan kekosongan kekuasan yang (jika) terjadi.

Kuatirkah Presiden Jokowi atau pendukung Presiden melihat kemungkinan? 

Jangan kuatir sebab aturan memang telah menetapkan mekanismenya seperti itu meskipun tidak dibenarkan bertindak agresif dan irasional guna mempengaruhi MPR dan "teman-teman" dalam truimviratnya. 

Selain itu Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin tetap berusaha menjalankan roda pemerintahan dengan lebih adil, bijaksana dan hati-hati agar tidak terjadi fitnah berupa impeachment atau terjadi hal-hal serupa dengan itu.

Jika terjadi sesuatu di luar non teknis dari yang maha kuasa itu adalah takdir dan tidak ada kemampuan kita menghindarinya. Tapi yang di luar itu semua bisa terjadi dan memerlukan kehati-hatian agar tidak terpeleset dalam fitnah dan gelapnya etika dunia politik di tanah air kita, misalnya dikudeta, hehehe..

abanggeutanyo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun