Mohon tunggu...
Aksara Alderaan
Aksara Alderaan Mohon Tunggu... Editor - Editor

Aksara Alderaan, seorang penulis fiksi yang sudah menulis beberapa karya, baik solo maupun antologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hingga Peluit Panjang Berbunyi - Addition Time

2 Mei 2024   13:46 Diperbarui: 2 Mei 2024   13:48 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara Kiandra memanggil namaku terus menggema di telingaku. Aku senang bisa mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. Namun, aku benci ketika hal ini terjadi tidak dapat melakukan apa-apa. Aku belum siuman dari pingsan ketika usai mencetak gol tadi. Diriku hanya bisa sekilas melihat lorong rumah sakit yang entah mengapa sangat menyeramkan.

Dokter terus memeriksa keadaanku yang belum juga sadar, mengecek semua yang ada. Beberapa alat penompa jantung dipasangkan di dadaku. Tiba-tiba pandanganku putih semua, kulihat ada makhluk tak berwujud mendekatiku, ia mengucapkan beberapa kata yang membuatku sedih.

"Waktumu sudah habis."

Garis lurus memanjang tergambar pada layar yang tidak kuketahui namanya, dokter menggeleng-gelengkan kepalanya karena sudah tak bisa bertindak apa-apa. Kemudian ia menutupkan tubuhku yang sudah kaku dengan kain putih. Tak lama Kiandra berlari menghampiri jiwaku, ia menangis dalam dekapanku.

"Mahesa, jangan tinggalin gua!" Khansa menggoyang-goyangkan tubuhku.

Nathan, Ezra, dan Gilang---yang juga ikut ke rumah sakit---berusaha untuk menghentikan tindakan Kiandra, mereka juga ikut menangis di depan jiwaku yang sudah tak bernyawa. Kiandra terus menangis tak terbendung menyaksikanku tak bergerak. Dari alamku kini, aku tak kuasa melihat mereka bersedih di hadapan jasadku.


Jenazahku dibawa pulang ke rumah, bendera kuning sudah berkibar di halaman rumah. Keluargaku sedih dan tak menyangka bahwa diriku telah tiada. Banyak orang yang datang melihatku untuk terakhir kalinya, juga hadir para pemain dan guru-guru di sekolahku.

"Mahesa, gua bangga sama lu. Nama lu akan selalu ada di tim ini, dengan segala kehebatan yang lu punya. Gua dengan teman-teman yang lain nggak menyangka bahwa beberapa detik sebelum kita dinyatakan sebagai juara, lu pergi untuk selamanya," tutur Nathan sambil meletakkan medali dan jersei di atas liang lahatku.

Kiandra, wanita pujaan hatiku, masih bersedih atas kehilanganku. Ia berada di barisan terdepan untuk melihat diriku terakhir kalinya. Derai air matanya jatuh bersamaan jasadku yang perlahan kembali menyatu bersama alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun