"Menulis itu seperti menanam pohon. Kita tak selalu bisa berteduh di bawahnya, tapi orang lain bisa," katanya saat membuka kelas menulis di balai desa.
Kehidupan yang Melambat, tapi Penuh Makna
Kini di usianya yang ke-78, hidup Mbah Karti jauh lebih tenang. Ia tak lagi mengejar deadline, tak lagi mendengar suara mesin cetak. Hari-harinya diisi dengan berkebun kecil di belakang rumah, menulis puisi di beranda, dan tentu saja, momong cucu.
Anaknya, Sari, telah menikah dan tinggal di kota sebelah. Setiap akhir pekan, rumah Mbah Karti selalu ramai oleh tawa dua cucunya: Sekar dan Galang. Mereka sering membacakan cerita buatan Mbah Karti, atau bermain "wartawan-wartawanan" dengan rekaman suara dan mikrofon dari botol bekas.
Bu Siti, meski rambutnya telah sepenuhnya memutih, masih setia menyiapkan teh hangat untuk suaminya setiap sore. Mereka duduk berdua di beranda, memandangi cucu-cucu bermain, sambil mengenang masa-masa penuh perjuangan.
"Akhirnya kita sampai juga ya, Mas," kata Bu Siti suatu sore.
"Sampai di mana?" tanya Mbah Karti.
"Sampai pada masa di mana tak ada lagi ketakutan, tak ada lagi kehilangan. Hanya cinta dan cerita."
Mbah Karti menggenggam tangan istrinya. "Dan tinta yang tak pernah kering," tambahnya sambil tersenyum.
Warisan Tak Kasat Mata
Suatu hari, Sekar membawa pulang tugas sekolah: menulis tentang pahlawan.