"Aku mau tulis tentang Mbah Karti!" katanya semangat.
"Lho, kenapa?" tanya ibunya.
"Karena Mbah itu berani. Mbah nulis buat orang-orang, biar mereka tahu kebenaran. Mbah itu kayak pahlawan kata-kata."
Mbah Karti mendengar itu dari ruang tamu. Air matanya menetes, pelan tapi hangat. Ia tak pernah menginginkan gelar atau penghargaan. Tapi ucapan cucunya itu lebih dari cukup.
Mbah Karti tak lagi menulis untuk koran besar. Tapi kisah dan semangatnya hidup di rak-rak kecil Perpustakaan Desa yang kini dinamai "Pojok Baca Karti-Siti", tempat anak-anak belajar menulis, membaca, dan memahami dunia.
Ia dan Bu Siti melewati masa senja tidak dalam kesunyian, tapi dalam kasih yang terus tumbuh dari anak dan cucu mereka. Di usia senja, mereka akhirnya memiliki apa yang dulu jarang mereka nikmati: waktu, kehangatan keluarga, dan ketenangan hati.
Dan meski mesin tik tua di pojok rumah sudah berhenti berdetak, tinta yang pernah mengalir darinya masih hidup,di dalam buku, di dalam kenangan, dan di dalam hati orang-orang yang mengenal Mbah Karti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI