Artinya bahwa, meskipun kita membela diri bahwa istilah yang digunakan tidak berpretensi untuk menghina atau merendahkan kelompok budaya / daerah lain, akan tetapi saat ungkapan demikian diucapkan di ruang publik, dengan ragam penerimaan, kepantasan dan kepatutan pengunaan istilah tersebut harus dipertanyakan, apakah bermuatan politis atau memiliki arti yang sebenar-benarnya.
Sejatinya, saat bertutur atau berargumentasi di ruang publik, dan ditayangkan pada kanal sosial media, kita tetap harus berpedoman pada etika berbahasa yang baik dan benar sesuai koridor bahasa Indonesia. Perlunya kedewasaan bernalar dan menjunjung perbedaan adalah sikap yang seharusnya ditampilkan,Â
dan alangkah bijak apabila bahasa / diksi kedaerahan dimungkinkan untuk tidak digunakan, langkah tersebut sebagai bagian dari menciptakan pemaknaan dan pengertian yang sama agar maksud dan tujuan dari ucapan yang disampaikan tidak menimbulkan interpretasi yang berlebihan atau lebih membahayakan lagi terciptanya mis-pengertian yang mengakibatkan perpecahan dan kekacauan.
Semoga isu ini jadi pembelajaran kita semua untuk mengedepankan kesantunan dan keadaban didalam bertutur dan berucap agar kesatuan dan persatuan ini tetap terjaga selamanya. Â