Mohon tunggu...
Bayu Aristianto
Bayu Aristianto Mohon Tunggu... Dosen - Kuasa atas diri adalah awal memahami eksistensi

Menulis, proses pengabadian diri di tengah kesemuan hidup

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tempat Jin Buang Anak: Sebuah Diksi dan Kacaunya Nalar Kesantunan Kita

27 Januari 2022   11:23 Diperbarui: 27 Januari 2022   11:26 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belum usai isu seorang wakil rakyat, yang mengkritisi aparat penegak hukum yang bertutur menggunakan bahasa ibu (baca: bahasa daerah) di sebuah hajat pemerintahan. Kembali kita diusik oleh munculnya potongan ucapan seorang mantan caleg yang menggunakan istilah "tempat jin buang anak" untuk mengilustrasikan perpindahan ibukota ke wilayah Kalimantan, yang dianggap "sangat jauh". 

Namun akibat ujaran ini, akhirnya menimbulkan keriuhan dan kecaman oleh etnik asli Kalimantan dan sebagian kelompok masyarakat, dengan berlandaskan pada argumentasi bahwa istilah demikian mengusik marwah daerah dan menciderai toleransi kewargaan kita.

Secara kelimuan linguistik penggunaan diksi/istilah kedaerahaan adalah sebuah kekayaan bertutur dan berbincang masyarakat setempat. Pada ranah lokalitas, adanya diksi/istilah tertentu guna mempermudah komunikasi, mengeratkan hubungan sosial, dan menjunjung nilai kedaerahan. 

Pendekatan Fonologi (tentang perbendaharaan bunyi-bunyian bahasa dan cara distribusinya) di setiap daerah memiliki keunikan dan ragam intonasi.

Ungkapan "mangga", apabila diucapkan oleh orang sunda akan terdengar berbeda ketika ditutur ulang oleh masyarakat Maluku, karena "Mangga" berarti mempersilahkan atau menghormati bagi daerah Sunda, dan nama buah bagi daerah Maluku. 

Disparitas pemahaman terhadap fonem (bunyi bahasa) apabila tidak didampingi oleh kedewasaan nalar, kerap menciptakan benturan budaya disebabkan perbedaan pemaknaan dan arti yang diterima oleh masing-masing penutur.

Hal sama, terjadi ketika oknum tadi beralasan bahwa maksud dan tujuan istilah "tempat jin buang anak" berkonotasi pada preferensi untuk mengambarkan "tempat yang jauh" atau "antah berantah" meskipun ungkapan atau istilah ini akan sangat berbeda dipahami oleh masyarakat Kalimantan, yang menerimanya secara artian harfiah sebagai tempat jin membuang anak (tanpa tanda kutip).

Lalu, salahkan oknum tadi dengan pembelaan atas diksi dan pemaknaan menurut daerah dan preferensi lokalitas dimana ungkapan tersebut lahir/muncul? dan apabila masyarakat Kalimantan merasa tercemar nama baik daerahnya atas istilah tadi, kemudian berbondong-bondong mengugat, apakah hal tersebut juga dibenarkan?

Pertama saya ingin mengulas, bahwa penggunaan istilah daerah sebagai perbendaharaan kata dalam bertutur keseharian adalah wajar. Manusia Indonesia sejatinya tidak lepas dengan ruang kedaerahannya. 

Lokalitas dan budaya akan selalu mengiringi perjalanan kita dalam berdialektika dengan bermacam budaya lainnya dan mozaik pengucapan akan muncul, guna memperkaya nalar dalam kita berinteraksi satu sama lainnya.

Kedua, kepatutan dan kepantasan istilah daerah yang kita gunakan saat berinteraksi dengan rekan sejawat, handai taulan, saudara, dan orangtua yang mempunyai kesamaan pengertian atas istilah yang dituturkan, akan berbeda saat digunakan ketika berinterkasi dengan teman atau rekan yang mempunyai preferensi budaya yang berbeda.

Artinya bahwa, meskipun kita membela diri bahwa istilah yang digunakan tidak berpretensi untuk menghina atau merendahkan kelompok budaya / daerah lain, akan tetapi saat ungkapan demikian diucapkan di ruang publik, dengan ragam penerimaan, kepantasan dan kepatutan pengunaan istilah tersebut harus dipertanyakan, apakah bermuatan politis atau memiliki arti yang sebenar-benarnya.

Sejatinya, saat bertutur atau berargumentasi di ruang publik, dan ditayangkan pada kanal sosial media, kita tetap harus berpedoman pada etika berbahasa yang baik dan benar sesuai koridor bahasa Indonesia. Perlunya kedewasaan bernalar dan menjunjung perbedaan adalah sikap yang seharusnya ditampilkan, 

dan alangkah bijak apabila bahasa / diksi kedaerahan dimungkinkan untuk tidak digunakan, langkah tersebut sebagai bagian dari menciptakan pemaknaan dan pengertian yang sama agar maksud dan tujuan dari ucapan yang disampaikan tidak menimbulkan interpretasi yang berlebihan atau lebih membahayakan lagi terciptanya mis-pengertian yang mengakibatkan perpecahan dan kekacauan.

Semoga isu ini jadi pembelajaran kita semua untuk mengedepankan kesantunan dan keadaban didalam bertutur dan berucap agar kesatuan dan persatuan ini tetap terjaga selamanya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun