Mohon tunggu...
Tri Sapta Mw
Tri Sapta Mw Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis untuk menambah pengetahuan. Amunisi menulis adalah membaca.

Bekerja di Sekolah Tetum Bunaya Cipedak Jagakarsa Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibu Tangguh

6 Desember 2020   23:22 Diperbarui: 6 Desember 2020   23:50 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya dan anak-anak/dokpri

Semua orang pasti punya kenangan dengan ibunya. Apalagi Ibu adalah guru pertama kali dalam hidup. Sejak dalam perut, kita mendengar yang ia katakan. Bahkan jauh dari itu, karakter dan sifatnya dalam perjalanan hidup sebelumnya.

Saya mengamati banyak pelajaran dari ibu-ibu di keluarga saya. Karakter yang kemudian melekat dan membentuk pribadi bagi anak-anaknya.

Pertama nenek saya. Kakek saya meninggal ketika anak-anak belum selesai sekolah. Tiga orang baru di Sekolah Menengah Atas, tiga lainnyanya masih SD. Satunya lagi masih balita.

Tante saya cerita, sepeninggal kakek, mereka tinggal di rumah gubuk di kebun, tak ada listrik. Nenek tak punya ketrampilan selain membuat kue  dan memasak. Sementara Kakak-kakak yang bersekolah sederajat dengan SMA sudah tidak satu kota.

Tiap hari tante berjualan kue. Setelah bude saya bekerja jadi guru, tante dan nenek ikut pindah ke Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Tadinya di Pelaihari. Tante menjual kue sagon berkeliling. Sekolah tetap rajin. Selanjut nenek pindah ke Binuang. Beliau menjadi tukang masak di BPP, Balai Pelatihan Pertanian. Memasak untuk ratusan peserta. Ekonomi bergulir sedikit membaik, tante bisa kuliah ke Bogor. Mama, Bude, tante yang lain patungan untuk kuliah Tante.

Nenek pernah mendapat hinaan, masak sih tukang masak bisa mengkuliahkan anaknya. Pada saat itu kuliah ke Jawa sesuatu hal yang dianggap mewah dan sulit dicapai oleh orang kebanyakan. Siapa sangka tante, waktu kecil penjual kue, setelah dewasa, beliau menjadi doktor.


Kedua tentang Ibu saya, ekonomi keluarga saya pasang surut. Waktu kecil saya, membungkus nangka, bijinya ditanam ayah saya. Beliau usahanya pembibitan. Nangkanya saya antar bersepeda ke restoran dekat rumah.

Hargai waktu, manfaatkan waktu dengan baik.

Ibu sangat ketat dalam mengatur waktu. Dari jam tidur siang, bermain, ekskul. Zaman saya kegiatan ekskulnya disediakan dari sekolah karawitan, menari  Jawa, silat. Saya ikut semua. Tidak itu saja saya ikut juga menari tarian Banjar, om saya guru tarian Banjar. Sekali seminggu saya ikut rebana.

Saya tidak fokus, bagaimana tidak. menari Jawa dan karawitan perlu kehalusan sedang tarian Banjar dinamis juga silat. Karena masih SD, Ibu saya membiarkan. Hal penting bagi saya adalah menikmati dan sampai selesai. Tidak malas-malasan. Saya bersepeda ke sekolah, kurang lebih 2 km dari rumah saya. Jadi pulang sekolah, istirahat sebentar di rumah lalu balik lagi ke sekolah. Konsisten saya lakukan hingga lulus SD

 

Bila gagal tak mengapa, coba lagi dan terus coba. Pelajari kesalahan. 

Beberapa kali saya melamar pekerjaan, belum jodoh. Lowongan banyak mentargetkan perempuan single, kalaupun ada untuk ibu, harus berpengalaman. Pelajaran gagal pertama saya, waktu tidak diterima UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) Sekarang SBMPTN. Itu menyakitkan bagi saya karena saya mengusahakan nya dengan sungguh-sungguh, tentu juga tak lupa berdoa. Saya sampai tidak berani keluar rumah. Ibu membelikan buku psikolog. Perjalanan hidup tak selalu mulus. Meski diusahakan, dipersiapkan dengan baik, hasilnya kadang tidak sesuai harapan. Apalagi tidak dipersiapkan, hasilnya tentu 80 % tidak sesuai yang diinginkan.

Akhirnya saya bangkit, tidak mencoba sekolah di swasta di Kalimantan Selatan. Tetapi bantu Mama berkegiatan ekonomi. Saya jualan kue misoa. Bahannya harus saya beli ke Martapura. Karena di daerah saat itu masih mahal harga bahan seperti wortel, kentang, daun seledri. Juga Misoa di Binuang tidak ada. Dari membeli bahan, mengolah, dan mengemas, saya lakukan. Kemudian ada kerabat yang berkeliling menjualkan. Sampai akhirnya, keluarga bapak saya mengajak hijrah ke Yogya.

Kalaupun akhirnya diterima di UGM, bukan hal yang mudah. Saya belajar ketika teman-teman di kost saya tidur. Saya membawa catatan kecil ketika buang hajat, saya bawa ketika saya naik bis. Tahun kedua saya mencoba tes. Lagi-lagi tidak lulus. Tahun itu saya berdamai dengan diri saya, kuliah di swasta. Tahun ke tiga saya mencoba test, lebih santai, akhir nya diterima. Dua tahun saya menjalani kuliah double. Satunya D3 di swasta selesai dan S1 selesai. Saya kira keberhasilan saya itu waktu itu  adalah karena saya sudah beberapa kali gagal. Akhirnya mengukur kemampuan saya untuk memilih jurusan sedikit peminat.  Lulus sih di jurusan tersebut. Tapi perjuangan saya harus beberapa kali lipat dibanding teman saya. Mereka sudah sampai bulan saya masih di bumi.

Tiba saat harus mendidik anak saya, beda zaman dan beda tantangan. Kalau dahulu tantangannya ekonomi, kemauan keras untuk kehidupan lebih baik, saling bekerja sama  untuk mendorong yang lain agar berhasil.


Awal kehidupan berumah tangga seperti kebanyakan keluarga di Indonesia, seperti pom bensin mulai dari nol. Saya dan suami hidup di Jakarta tak langsung punya rumah. Sebelum mempunyai anak saya bekerja. Karena saya sulit punya dan harus bed rest selama hamil maka saya di rumah. Berlanjut tetap menjaga anak saya di rumah. Sambil berkegiatan ekonomi.

Barangkali kalau saya tidak dididik oleh orang tua terutama Ibu-ibu tangguh di keluarga saya. Saya akan menjadi perempuan menyerah pada keadaan. Meski sarjana, saya tidak malu membuat kue kering bersama teman saya. Lalu menawarkan ke warung. 22 tahun lalu, belum semudah seperti sekarang untuk berjualan. Pasang status di WA atau sebar di group WA. Atau sasarannya lebih luas tawarkan di  pasar daring.

Hal yang saya ingat adalah sambil menggendong anak saya ke pasar Senen, naik bis kota,membeli bahan kue, lebih murah. Hal yang sama dengan teman saya begitu juga. Ia menggendong anaknya. Sekarang saya bukan pembisnis kue kering, tapi nilai hidupnya tentu membentuk karakter anak pertama saya. Ia melihat bukan hanya karena saya bicara. Ia merasakan arti perjuangan. Untungnya ia lebih fokus tidak seperti saya, ketika memilih kuliah, pilihannya jurusan sama hanya beda kampus.

Mendidik anak kedua dan  ketiga, berbeda dengan anak pertama. Lagi-lagi beda zaman dan fasilitas. Sekarang tantangan saya adalah membentuk pengertian penggunaan gawai pada anak. Seperti dikatakan menteri Nadiem Anwar Makarim, gawai hanya alat, dalam acara kompasianival tanggal 4 Desember 2020.

Sampai sekarang, saya belum bisa membentuk anak untuk melepaskan gawai. Tantangan ini tidak sama dengan ibu saya, tentunya. Dahulu meski ibu saya tidak mendampingi saya belajar beraktivitas, karena beliau bekerja sebagai bidan. Rasanya jalan saja, rule yang ditentukan oleh ibu saya.

Sekarang meski aturan saya coba buat bersama anak, tetap saja mereka sulit untuk melepas gawai. Memang tidak ada reward dan  punishment. Saya tahu pemecahan masalahnya adalah saya harus mendampingi mereka. ‘Hadir’ dalam kegiatan tanpa gawai di sela mereka belajar.  Masih PR bagi saya. Apalagi di masa pandemi, beraktivitas keluar rumah dibatasi. Meski di rumah tetap bisa melakukan misi visi seorang ibu membentuk karakter anak yang beriman, tangguh, peka dengan lingkungan, mampu beradaptasi disegala zaman.

 Ibu Sekolah Pertamaku, semakin kental di masa pandemi ini. Peran ibu menjadi mitra guru di sekolah begitu nyata. Semoga kita semua menjadi ibu tangguh, ibu yang selalu berupaya dan belajar menjawab tantangan zaman. Ibu yang mau mengusahakan agar anak-anaknya kelak siap hidup dalam zamannya. Entah apalagi yang akan dihadapi. Menurut pak Nadiem, hikmah pandemi adalah bila berhasil menaklukkan masa ini, In sya Allah setelah pandemi, kita akan lebih kuat, dan kelak bila menghadapi situasi yang tidak nyaman.

Ada benang merah lintas generasi dari nenek saya hingga ke saya  Meski berbeda zaman. Rasanya nilai ajaran masih berlaku hingga sekarang.

Menerima keadaan dengan ridho, iklhas melakukan kebaikan, sabar dalam menghadap semua episode hidup. Bersyukur pada setiap keadan. Selalu berusaha melakukan terbaik.  Hargai waktu, manfaatkan waktu dengan baik. Bila gagal tak mengapa, coba lagi dan terus coba. Pelajari kesalahan. Yakin Allah, akan menolong, oleh karena itu selalu berdoa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun