Mohon tunggu...
Tri Sapta Mw
Tri Sapta Mw Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis untuk menambah pengetahuan. Amunisi menulis adalah membaca.

Bekerja di Sekolah Tetum Bunaya Cipedak Jagakarsa Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibu Tangguh

6 Desember 2020   23:22 Diperbarui: 6 Desember 2020   23:50 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya dan anak-anak/dokpri

Bila gagal tak mengapa, coba lagi dan terus coba. Pelajari kesalahan. 

Beberapa kali saya melamar pekerjaan, belum jodoh. Lowongan banyak mentargetkan perempuan single, kalaupun ada untuk ibu, harus berpengalaman. Pelajaran gagal pertama saya, waktu tidak diterima UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) Sekarang SBMPTN. Itu menyakitkan bagi saya karena saya mengusahakan nya dengan sungguh-sungguh, tentu juga tak lupa berdoa. Saya sampai tidak berani keluar rumah. Ibu membelikan buku psikolog. Perjalanan hidup tak selalu mulus. Meski diusahakan, dipersiapkan dengan baik, hasilnya kadang tidak sesuai harapan. Apalagi tidak dipersiapkan, hasilnya tentu 80 % tidak sesuai yang diinginkan.

Akhirnya saya bangkit, tidak mencoba sekolah di swasta di Kalimantan Selatan. Tetapi bantu Mama berkegiatan ekonomi. Saya jualan kue misoa. Bahannya harus saya beli ke Martapura. Karena di daerah saat itu masih mahal harga bahan seperti wortel, kentang, daun seledri. Juga Misoa di Binuang tidak ada. Dari membeli bahan, mengolah, dan mengemas, saya lakukan. Kemudian ada kerabat yang berkeliling menjualkan. Sampai akhirnya, keluarga bapak saya mengajak hijrah ke Yogya.

Kalaupun akhirnya diterima di UGM, bukan hal yang mudah. Saya belajar ketika teman-teman di kost saya tidur. Saya membawa catatan kecil ketika buang hajat, saya bawa ketika saya naik bis. Tahun kedua saya mencoba tes. Lagi-lagi tidak lulus. Tahun itu saya berdamai dengan diri saya, kuliah di swasta. Tahun ke tiga saya mencoba test, lebih santai, akhir nya diterima. Dua tahun saya menjalani kuliah double. Satunya D3 di swasta selesai dan S1 selesai. Saya kira keberhasilan saya itu waktu itu  adalah karena saya sudah beberapa kali gagal. Akhirnya mengukur kemampuan saya untuk memilih jurusan sedikit peminat.  Lulus sih di jurusan tersebut. Tapi perjuangan saya harus beberapa kali lipat dibanding teman saya. Mereka sudah sampai bulan saya masih di bumi.

Tiba saat harus mendidik anak saya, beda zaman dan beda tantangan. Kalau dahulu tantangannya ekonomi, kemauan keras untuk kehidupan lebih baik, saling bekerja sama  untuk mendorong yang lain agar berhasil.


Awal kehidupan berumah tangga seperti kebanyakan keluarga di Indonesia, seperti pom bensin mulai dari nol. Saya dan suami hidup di Jakarta tak langsung punya rumah. Sebelum mempunyai anak saya bekerja. Karena saya sulit punya dan harus bed rest selama hamil maka saya di rumah. Berlanjut tetap menjaga anak saya di rumah. Sambil berkegiatan ekonomi.

Barangkali kalau saya tidak dididik oleh orang tua terutama Ibu-ibu tangguh di keluarga saya. Saya akan menjadi perempuan menyerah pada keadaan. Meski sarjana, saya tidak malu membuat kue kering bersama teman saya. Lalu menawarkan ke warung. 22 tahun lalu, belum semudah seperti sekarang untuk berjualan. Pasang status di WA atau sebar di group WA. Atau sasarannya lebih luas tawarkan di  pasar daring.

Hal yang saya ingat adalah sambil menggendong anak saya ke pasar Senen, naik bis kota,membeli bahan kue, lebih murah. Hal yang sama dengan teman saya begitu juga. Ia menggendong anaknya. Sekarang saya bukan pembisnis kue kering, tapi nilai hidupnya tentu membentuk karakter anak pertama saya. Ia melihat bukan hanya karena saya bicara. Ia merasakan arti perjuangan. Untungnya ia lebih fokus tidak seperti saya, ketika memilih kuliah, pilihannya jurusan sama hanya beda kampus.

Saya dan anak-anak/dokpri
Saya dan anak-anak/dokpri

Mendidik anak kedua dan  ketiga, berbeda dengan anak pertama. Lagi-lagi beda zaman dan fasilitas. Sekarang tantangan saya adalah membentuk pengertian penggunaan gawai pada anak. Seperti dikatakan menteri Nadiem Anwar Makarim, gawai hanya alat, dalam acara kompasianival tanggal 4 Desember 2020.

Sampai sekarang, saya belum bisa membentuk anak untuk melepaskan gawai. Tantangan ini tidak sama dengan ibu saya, tentunya. Dahulu meski ibu saya tidak mendampingi saya belajar beraktivitas, karena beliau bekerja sebagai bidan. Rasanya jalan saja, rule yang ditentukan oleh ibu saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun