Mohon tunggu...
Aliah
Aliah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang guru di SMPN 278 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seuntai Harapan di Terik Matahari

6 April 2020   05:05 Diperbarui: 6 April 2020   05:35 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang itu matahari sangat terik memancarkan tubuhnya begitu panas dan disambut kelengangan siang yang sunyi dan sepi. Tidak banyak orang lalu lalang di depan toko Syafa. Biasanya jam segini anak-anak asyik bermain sambil tertawa riang dan diiringi senandung kecerian di wajah-wajah yang polos. Sehingga menambah suasana menjadi ramai dan bising. Anak-anak mondar mandir jajan di toko Syafa. Tapi siang ini tidak terlihat wajah-wajah polos mereka. Begitu juga ibu-ibu yang belanja untuk membeli kebutuhan sehari-hari  sangat sepi. Hanya ada satu dua orang yang datang. Syafa dan suaminya menunggu pembeli dengan sabar.

Untuk mengisi kesibukan dan jenuhan menunggu pelanggan, suami Syifa menyibukkan diri di depan laptop sambil membuka Hp. Syifa sendiri menyibukkan diri merapikan rumah. Si kecil terlihat sibuk memainkan Hp. Siang ini sang mentari memancarkan cahayanya sangat panas. Sepanas kondisi saat ini. Mungkin ini semua pengaruh dari keadaan yang terjadi saat ini. Orang-orang malas untuk keluar rumah, mereka keluar bila ada keperluan yang mendesak. Selesai merapihan rumah terlihat Syafa dan suaminya asyik ngobrol membicarakan kondisi saat ini. Mereka berdua saling beradu argumen. Begitu serius dan serunya, mereka ngobrol. Di sela asyiknya ngobrol tiba-tiba dikejutkan oleh suara ”Kleneng...Kleneng...Kleneng,,,”. Terdengar sayup-sayup semakin lama semakin terdengar jelas suara itu. Mendengar suara itu, mereka berdua terdiam sesaat dan saling berpandangan.

“ Mah...bunyi suara apa itu?”

“ Entahlah Pa..”

“ Paling tukang es”, jawabku dengan nada sok tau.

Lalu pandangan kami berdua beralih ke depan toko. Tiba-tiba ada gerobak melintas di depan toko mereka. Lalu gerobal itu berhenti di depan musholah.

“ Mah...coba lihat tukang apa yang di gerobak!”

“Papa lapar nih”.

Syafa langsung beranjak dari tempat duduknya dan bergegas menuju ke depan tokonya. Syafa menoleh kearah samping kanan. Dilihatnya seorang pedagang sedang duduk di depan mushola sambil menuggu pembeli yang datang. Syafa langsung bergegas  masuk dan berkata,

“ Pah...itu tukang empek-empek”.

“ Papa mau beli”

“ Boleh mah...” .

Syafa langsung bergegas ke dapur untuk mengambil mangkok dan sendok.

“ Mama sekalian beli dan Nazwa”, terdengar suara seruan suamiku dari depan.

“ Iya Pah...”   

Kuhampiri lagi suami dan bertanya” Papa mau beli berapa?”, tanya ku

“ Lima ribu aja Mah..”

Langsung Syafa bergegas menuju ke pedagang empek-empek  gerobak. Dilihatnya pedagang itu sedang duduk termenung entah apa yang pikirkan. Dilihat raut wajahnya penuh dengan kesedihan dan kegelisahan. Badanya begitu lesu dan tak bersemangat. Mungkin dia memikirkan kondisi ekonomi yang semakin lesu dan tak menentu. Syafa memperhatikan lagi belum ada seorang pun yang membeli dagangannya. Pedagang itu asyik termenung hingga tak tahu kedatangan Syafa di dekatnya.

Lalu Syafa memanggil pedagang itu.

“ Bang...beli”, kata Syafa dengan nada keras. 

Pedangan itu terhentak kaget dan tersadar dari lamunannya.

“Oh...iya, Bu”, dengan kaget dia menjawabnya.

“Bang...ngelamun aja nih?”

“Sedang mikirin apa?”, tanyaku sok akrab.

“Ga, Bu...”

“Dagang lagi sepi nih”.

 

“ Di mana-mana orang ga berani keluar”

“ Dagangan masih banyak”.

“Biasanya anak-anak pada beli”.

“Ini dari pagi baru laku sedikit,Bu”.

Syafa  ikut terhanyut dalam perasaan mendengar cerita abang empek-empek itu.

Dia bisa merasakan apa yang dirasakan pedagang itu saat ini. Syafa membayangkan  warungnya juga sepi dari pembeli. Disela-sela pembicaraan Syafa memotong sebentar dan berkata.

“ Beli lima ribu lima ribu ya bang tiga mangkok”, kata Syafa.

“Campur nih,Bu”.

“Iya, Bang”.

Sambil menggoreng si Abang melanjutkan ceritanya lagi. Syafa mendengarkan sambil menangapi.

“Mau pulang kampung bingung, di sana kerja apa”.

“Di kampung juga keadaan semakin susah”.

“Istri saya sih nyuruh pulang ke kampung”.

“Ini aja dagangan boleh ngambil dari bos”.

“Pusing,Bu!”, berkata dengan nada sedih.

Dalam hati, Syafa hanya bisa merasakan penderitaan pedagang itu.

Syafa juga tidak berdaya dengan kondisi saat ini. Syafa hanya bisa menguatkan semangat si abang empek-empek itu. Syafa tidak bisa membantu apa-apa tapi dia hanya bisa mendengarkan keluhan dari pedagang itu sambil berkata,

“Sabar ya Bang...”

“Mudah-mudahan musibah ini bisa cepat teratasi”.

Kita rakyat kecil hanya bisa berusaha dan sambil berdoa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun