“Pak De tahu kamu nakal. Tapi kamu satu-satunya harapan keluarga. Kakak-kakakmu tidak bisa. Hanya kamu.”
Keluarga bukan hanya tempat kita lahir dan tumbuh. Keluarga bisa menjadi sekolah pertama dalam kehidupan, menjadi guru saat kita bodoh, menjadi pahlawan saat kita jatuh dan menjadi penuntun ketika kita kehilangan arah. Dalam suka maupun duka, mereka hadir. Di tengah senyuman dan air mata, keluarga menjadi sandaran yang kadang tak kita sadari nilainya sampai saat mereka tiada.
Setiap manusia pasti pernah merasakan kehilangan. Tapi kehilangan orang terdekat, terutama sosok yang menjadi sumber semangat dan harapan adalah luka yang tak mudah sembuh. Ada bagian dalam diri kita yang ikut hilang. Ada semangat yang sempat padam. Namun pada saat yang sama, dari kehilangan itu seringkali tumbuh kekuatan baru.
Saat kecil, aku bukanlah anak yang taat. Aku sering malas sekolah, sering membangkang ke orang tua, dan merasa bahwa agama hanyalah formalitas. Bahkan untuk membaca Al‑Qur’an saja dan menghafal Al-Qur'an, aku malas-malasan. Aku merasa itu tidak penting, tidak sesuai dengan impianku.
Ketika lulus SD, orang tuaku ingin agar aku masuk pesantren. Tapi aku bersikeras menolak. Bagiku, pesantren adalah tempat membosankan. Aku ingin sekolah di luar,ingin enak, ingin berteman tanpa batas. Namun, seseorang dari keluarga mendekatiku dengan sabar. Beliau bukan orang tua kandungku, tapi perannya sangat besar dalam hidupku. Ia berkata dengan tenang namun penuh harapan:
“Pak De tahu kamu nakal. Tapi kamu satu-satunya harapan keluarga. Kakak-kakakmu tidak bisa. Hanya kamu.”
Aku belum mengerti arti kalimat itu. Aku bahkan tidak peduli. Tapi waktu berbicara. Aku gagal masuk SMP negeri favorit. Semua pilihan sekolah umum tertutup. Dan satu-satunya jalan yang tersisa adalah masuk pesantren. Bukan karena aku mau, tapi karena tak ada pilihan lain. Waktu itu aku merasa kecewa, tetapi itulah awal mula takdir baik itu dimulai.
Hari-hari pertama di pesantren terasa seperti tidak enak. Aku kesulitan beradaptasi. Rutinitas padat, aturan ketat, dan budaya baru membuatku tertekan. Tapi sedikit demi sedikit, hatiku mulai membaik. Aku melihat teman-temanku bisa membaca dan menghafal Al‑Qur’an dengan fasih. Aku mulai malu pada diriku sendiri.
Dari sanalah semangat itu muncul. Aku mulai belajar Al-Qur'an lagi dari awal. Mulai mengenal huruf demi huruf. Mulai mencintai suara lantunan ayat-ayat suci. Dan dari ayat-ayat itu, aku mulai melihat hidup dengan cara yang berbeda.
Sosok yang tadi kusebut, yang menyebutku sebagai “harapan keluarga,” tak henti-hentinya memberi semangat. Ia tak pernah bosan menghubungiku, menanyakan kabar, dan mengingatkan tentang tanggung jawabku. Ia adalah penyemangat yang selalu hadir, baik dari dekat maupun jauh.
Mimpi Menghafal Al‑Qur’an
Di kelas 3 SMP, aku mulai berani bermimpi: ingin menghafal 30 juz. Bukan karena disuruh, tapi karena hatiku mulai terpanggil. Aku tahu jalan ini sulit. Banyak ujian dan tantangan. Tapi aku tak sendiri. Ada sosok di belakangku yang percaya penuh pada kemampuanku.
Masuk SMA, tantangannya lebih besar. Jadwal pelajaran padat, hafalan semakin berat, dan aku beberapa kali mengalami kelelahan mental. Seringkali aku lupa hafalan yang sudah kusetor. Murajaah berantakan. Tapi setiap kali aku ingin menyerah, aku ingat pesan yang sama:
“Kalau kamu gagal, siapa lagi yang diharapkan keluarga?”
Kalimat itu kembali menjadi motivasiku. Sampai akhirnya, menjelang kelas 12, aku berhasil menyelesaikan hafalan 30 juz. Meskipun belum mutqin dan masih banyak yang harus diperbaiki, itu adalah titik penting dalam hidupku. Sebuah pencapaian yang tak akan terjadi tanpa dorongan dan bimbingan orang terdekat itu.
Ketika kuliah dan mulai merantau ke Yogyakarta, aku berada dalam fase baru. Aku mulai belajar mengimbangi dunia dan akhirat. Aku sempat bangga karena bisa kuliah sambil mempertahankan hafalan. Tapi semua berubah ketika kabar itu datang.
Sosok yang selama ini menuntunku, menyemangatiku, memberiku harapan telah berpulang ke rahmatullah. Aku tak bisa pulang. Tak bisa ziarah. Tak bisa mengucapkan terima kasih secara langsung. Hatiku hancur. Hafalan pun ikut runtuh. Semangatku padam. Aku sempat kehilangan arah, merasa kosong.
Beberapa hari aku hanya berdiam diri. Tidak mengaji. Tidak belajar. Tidak keluar kamar. Tapi kemudian, kalimat terakhir yang beliau ucapkan sebelum wafat terngiang kembali di telingaku:
“Harapan keluarga, harapan Pak De, cuma kamu.”
Aku sadar, aku tak boleh berhenti. Aku tak boleh mengecewakan harapan itu. Aku tak boleh membiarkan sosok itu pergi sia-sia. Aku beli mushaf baru. Aku mulai lagi dari awal. Walau pelan, aku bertekad untuk memutqinkan hafalan. Hafalan ini bukan hanya untukkutapi untuk orang yang paling percaya padaku, bahkan ketika aku tak percaya pada diriku sendiri.
Kini aku tahu, kehilangan tidak harus berarti kehancuran. Kadang justru dari kehilangan kita menemukan alasan untuk bangkit. Sosok yang pernah menyebutku sebagai harapan kini telah pergi, tapi semangatnya tidak. Kata-katanya menjadi bekal hidupku. Doanya menjadi pelindung langkahku.
Beliau bukan hanya seorang keluarga. Beliau adalah lentera hidupku. Tanpa beliau, aku tak akan menjadi seperti sekarang.
Akhir Cerita: Untuk Dua Nama yang Tak Pernah Kulupa
Kini saatnya kusebut dua nama yang selama ini kusembunyikan dalam cerita:
Sosok yang paling berjasa dan menjadi support system sejati dalam hidupku adalah Pak De Hasim, yang dengan sabar dan ikhlas mendidik, menasehati, dan mendorongku menuju cahaya Al‑Qur’an.
Dan guru yang menuntunku membaca dan mencintai Al‑Qur’an adalah K.H. Asmuni M. Noor, yang dengan kasih sayang mendidikku di pondok pesantren dan menjadi panutan dalam ilmu dan akhlak. Beliau merupakan salah satu ulama terkemuka di Banten, yang dikenal luas karena dedikasinya dalam dakwah, pendidikan, dan pembinaan generasi muda dalam mencintai Al‑Qur’an.
Untuk kalian berdua, semoga Allah membalas semua kebaikan dengan surga tertinggi. Untuk semua pecinta Al‑Qur’an, untuk para santri dan pencari ilmu, ingatlah: kita boleh lelah, tapi jangan menyerah. Karena setiap huruf yang kita baca, setiap ayat yang kita hafal, akan menjadi cahaya bagi kita dan orang-orang yang kita cintai.
Teruslah berjuang, karena tak ada hafalan yang sia-sia. Tak ada doa yang tak sampai. Tak ada cinta yang hilang jika ditanamkan dalam Al‑Qur’an.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI