Mimpi Menghafal Al‑Qur’an
Di kelas 3 SMP, aku mulai berani bermimpi: ingin menghafal 30 juz. Bukan karena disuruh, tapi karena hatiku mulai terpanggil. Aku tahu jalan ini sulit. Banyak ujian dan tantangan. Tapi aku tak sendiri. Ada sosok di belakangku yang percaya penuh pada kemampuanku.
Masuk SMA, tantangannya lebih besar. Jadwal pelajaran padat, hafalan semakin berat, dan aku beberapa kali mengalami kelelahan mental. Seringkali aku lupa hafalan yang sudah kusetor. Murajaah berantakan. Tapi setiap kali aku ingin menyerah, aku ingat pesan yang sama:
“Kalau kamu gagal, siapa lagi yang diharapkan keluarga?”
Kalimat itu kembali menjadi motivasiku. Sampai akhirnya, menjelang kelas 12, aku berhasil menyelesaikan hafalan 30 juz. Meskipun belum mutqin dan masih banyak yang harus diperbaiki, itu adalah titik penting dalam hidupku. Sebuah pencapaian yang tak akan terjadi tanpa dorongan dan bimbingan orang terdekat itu.
Ketika kuliah dan mulai merantau ke Yogyakarta, aku berada dalam fase baru. Aku mulai belajar mengimbangi dunia dan akhirat. Aku sempat bangga karena bisa kuliah sambil mempertahankan hafalan. Tapi semua berubah ketika kabar itu datang.
Sosok yang selama ini menuntunku, menyemangatiku, memberiku harapan telah berpulang ke rahmatullah. Aku tak bisa pulang. Tak bisa ziarah. Tak bisa mengucapkan terima kasih secara langsung. Hatiku hancur. Hafalan pun ikut runtuh. Semangatku padam. Aku sempat kehilangan arah, merasa kosong.
Beberapa hari aku hanya berdiam diri. Tidak mengaji. Tidak belajar. Tidak keluar kamar. Tapi kemudian, kalimat terakhir yang beliau ucapkan sebelum wafat terngiang kembali di telingaku:
“Harapan keluarga, harapan Pak De, cuma kamu.”
Aku sadar, aku tak boleh berhenti. Aku tak boleh mengecewakan harapan itu. Aku tak boleh membiarkan sosok itu pergi sia-sia. Aku beli mushaf baru. Aku mulai lagi dari awal. Walau pelan, aku bertekad untuk memutqinkan hafalan. Hafalan ini bukan hanya untukkutapi untuk orang yang paling percaya padaku, bahkan ketika aku tak percaya pada diriku sendiri.