Anak Broken Home Juga Ingin Bahagia
Namaku Atta, 19 tahun. Sejak kecil aku sudah belajar bahwa hidup tak selalu seperti yang diinginkan. Ada yang terlahir dalam keluarga utuh dan penuh kasih sayang, namun ada juga yang lahir di tengah reruntuhan hati, berusaha keras untuk terlihat seperti rumah. Aku dulu sering mendengar orang bilang, "Rumah adalah tempat paling nyaman." Tapi bagiku, rumah adalah tempat di mana aku justru merasa paling kesepian, meski di sana aku tidak sendiri.
Ayah dan Ibu berpisah. Bukan karena kebencian, bukan karena salah siapa-siapa, tetapi mungkin hanya karena lelah, lelah untuk bertahan di tengah kehancuran yang tak bisa mereka selesaikan. Aku masih kecil waktu itu, dan tak mengerti banyak hal. Yang aku tahu, aku harus melihat Ibu yang menangis diam-diam, terbungkam di dapur, dan Ayah yang semakin jarang pulang, seakan dunia ini bukan rumah kami lagi. Suara pintu dibanting, piring pecah, kata-kata kasar yang lama kelamaan menjadi seperti musik latar dalam hidupku.
Aku berpikir, jika aku pergi, semuanya akan menjadi lebih baik. Aku merantau. Bukan untuk lari dari masalah, tetapi lari dari luka yang tak kunjung sembuh. Aku pindah ke kota kecil di Yogyakarta, tempat Mas Wawan tinggal. Tidak ada yang istimewa dari kota itu. Panas, ramai, dan asing. Tapi setidaknya, di sana aku merasa jauh dari kenangan yang menyakitkan, dan itu sudah cukup untukku.
Hari-hari pertama di kota ini seperti berjalan di dalam kabut. Aku datang ke kampus dengan kepala kosong, tubuhku ada, tapi hatiku seakan hilang entah ke mana. Bahkan sempat terpikir olehku, "Apa aku hanya beban hidup bagi orang-orang di sekitar?" Tapi entah bagaimana, semesta memberikan sedikit harapan.
Aku bertemu Denis, cowok yang selalu bercanda di waktu yang salah, tapi dia juga yang membuat aku tertawa pertama kali setelah berbulan-bulan lamanya. Ada juga Salwa, cewek baik hati yang selalu membawakan roti kalau dia melihatku melewatkan sarapan. Dan Riski, si cuek yang ternyata jauh lebih peduli daripada yang aku kira. Mereka tidak pernah bertanya soal keluargaku, tapi cara mereka duduk di sampingku, memberikan ruang saat aku diam, aku tahu mereka paham. Mereka mengerti lebih dari yang aku pikirkan.
Aku mulai bekerja paruh waktu di kedai kopi dekat kampus. Capek, iya. Tapi capek yang membuatku merasa hidup. Berbeda dengan capek di rumah dulu yang hanya membuatku ingin tidur dan tak bangun lagi. Di kedai itu, aku bertemu dengan orang-orang baru, cerita-cerita baru, dan tawa-tawa kecil yang secara perlahan mengisi kekosongan dalam hatiku.
Suatu malam, aku duduk di jendela kamar kecilku, mendengarkan lagu galau, menatap langit yang sepi. Aku menangis. Bukan karena kesedihan, tapi karena ternyata... aku masih bisa merasa. Dan itu, bagi aku, adalah kemewahan yang tak ternilai.
Aku mulai menulis segala rasa itu. Menulis apa adanya. Dan entah kenapa, tulisanku memenangkan lomba esai di fakultas. Ketika aku menelepon Ibu dan menceritakan hal itu, suara Ibu bergetar di ujung telepon. "Ibu bangga sama kamu," katanya. Aku terdiam. Tak tahu harus berkata apa, namun malam itu, aku tidur dengan senyum yang tak bisa kutahan. Aku tahu, meski hidup belum sempurna, aku telah memulai sesuatu yang lebih baik.
Hubunganku dengan Ayah masih canggung. Masih banyak rasa sepi yang datang di tengah keramaian. Tapi sekarang aku tahu satu hal: bahagia itu bukan soal memiliki keluarga yang sempurna. Bahagia adalah ketika kita bisa tertawa lagi, meski hati pernah hancur. Bahagia adalah saat kita bisa berdamai dengan luka lama dan menemukan kebahagiaan dalam setiap langkah yang kita ambil, bahkan di tempat yang dulu terasa penuh dengan kesedihan.