Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Class Miting Content Competition for Teachers Period July-September 2022. (3). The 3rd Winner of Expat. Roasters Giveaway 2024.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tiga (3) Batu Tungku Pemerintahan Adat Tanah Persekutuan Halehebing di Mapitara-Sikka-NTT

27 Oktober 2016   00:54 Diperbarui: 18 Agustus 2024   06:59 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wilayah tanah persekutuan adat Halehebing, yang kini menjadi kecamatan Mapitara itu sebenarnya terdiri atas 2 wilayah persekutuan besar yang kemudian disatukan yakni persekutuan Hale dan persekutuan Hebing. Persatuan 2 tanah persekutuan adat ini kemudian dikenal dengan nama persekutuan tanah adat Halehebing. 

Sumber penuturan tua adat Bapak Jakobus Djaro, (seorang guru dan kepala sekolah di desa Egon Gahar) mengatakan wilayah adat persekutuan Halehebing sudah sejak lama dikuasai oleh 3 kekuatan kekuasaan utama yang seimbang yakni: 

(1). Moang Bapa Botha da Iry (Ama Puu/Laki Puu 1) sebagai pemangku tuan tanah besar, sebagai penguasa tanah persekutuan Halehebing, merupakan bangsawan No. urut 1.

(2). Moang Kaka Bully sebagai aparatur pemerintah adat.

(3). Kapitan Leo Jarang sebagai wakil pemerintahan Selbsbestuur dari Sikka. 

Tiga kekuasaan inilah yang membentuk dan mewariskan tata susunan organisasi tradisional masing-masing dan mendominasi kekuasaan di wilayah tanah persekutuan adat Halehebing hingga saat ini. 

Tiga kekuasaan ini membentuk tritunggal dan menjadi 3 batu tungku pemerintahan adat tanah persekutuan Halehebing. 

Sejak kehadiran Kapitan Leo dalam tanah persekutuan, ekspansionisme tanah persekutuan adat dilakukan hingga wilayah Doren. Oleh karenanya wilayah persekutuan Helehebing mencakapi wilayah Doren atau kekapitanan Doren.

Bahkan wilayahnya membujur hingga ke Glak. Sebagai sebuah kawasan berbahasa Sikka-krowe  kelompok 3 penguasa tanah persekutuan ini menghidup secara lengkap berbagai ritus adat.

Wanita-wanita tanah persekutuan adat Halehebing dengan hasil tenunannya. Tenunan menjadi primadona (Foto: Dok. Hlhb)
Wanita-wanita tanah persekutuan adat Halehebing dengan hasil tenunannya. Tenunan menjadi primadona (Foto: Dok. Hlhb)
Sebagai sebuah wilayah tanah persekutuan di kerajaan Sikka, subsuku ini telah lama menghidupkan beragam kebudayaan, corak mitologis, dan konsep-konsep tentang religi asli berdasarkan tradisi khasnya yang tidak terdapat diberbagai daerah dan kawasan subsuku Sikka lainnya, seperti ritus pare tanah.

 Berbagai rituspun telah dibuat umumnya berisi lakon atas berbagai drama untuk seninya bertahan hidup misalnya: ritus pertanian, ritus inisiasi, ritus menanak padi, dll. Inilah ritus melakonkan berbagai siklus hidup manusia terhadap alam baik di darat, laut, lembah dan gunung-gemunung. 

Kebudayaan tanah persekutuan Halehebing menunjukkan corak yang sangat bersifat adikodrati, seperti ritus adat pare tanah, yang bercorak ret-ret agung yang dilaksanakan sekali dalam 4 tahun. 

Dalam ritus ini, semua warga hanya beritirahat di rumah. Tabu untuk keluar rumah. Mereka menyiapkan semua kebutuhan selama seminggu. Ada yang membangun pondok di luar rumah sampai ritus selesai.

Menurut kepercayaan masyarakat, dalam ritus pare tanah manusia memberikan kesempatan kepada sesuatu Yang Agung untuk bekerja dan memulihkan segala sesuatu dan memberkati dan menjamah manusia.

Pada puncak acara adat ini warga berkumpul di depan Mahe (altar adat) untuk doa syukur lalu berpesta syukur atas keselamatan hidup dan berkat dari Yang Maha Kuasa. Manusia memperoleh rasa kenyamanan melalui rasa takut terhadap kekuatan adat yang dapat membawa petaka, namun dapat membawa berkat pula. 

Kampung Hebing merupakan kampung tua dan merupakan pusat pemerintaham tanah persekutuan. Di kampung ini terdapat berbagai makam tua dari kalangan pemimpin dan keluarganya dari warga subsuku Halehebing yakni dari kalangan 3 kekuasaan tiga batu tungku. 

Di kampung Hale ditemukan adanya peninggalan artefak zaman prasejarah yang disebut: Artefak Bahar Amapu Waen Telu.

 Artefak ini ditemukan oleh Dinas Kepurbakalaan Propinsi NTT dan merujuk kepada adanya konsep Tuhan berwajah tiga, adanya pengaruh Hinduisme. 

Delaon itu  artefak yang terbuat dari perunggu tersebut dari segi budaya spritual merujuk adanya hierarki pemerintahan 3 Amapu atau 3 Laki Puu di pusat pemerintahan adat. Tiga Laki puu atau 3 Ama Pu adalah struktur sosial tertinggi dalam tata pemerintahan adat agraris di Halehebing.

 (Sumber: Hasil racikan dari berbagai wawancara dengan para tokoh masyarakat Halehebing)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun