Aku adalah Farhan, seorang remaja berusia 15 tahun yang hidup di sebuah desa kecil di pinggiran kota. Aku tinggal bersama ibuku, seorang penjual kue sederhana, dan adikku yang masih duduk di bangku SD. Ayahku sudah lama meninggal karena sakit, dan semenjak itu ibulah yang berjuang keras membesarkan kami.
Sejujurnya, aku bukanlah anak yang selalu rajin beribadah sejak kecil. Aku dulu sering mengeluh, bahkan iri pada teman-teman yang memiliki kehidupan lebih baik. Namun, perlahan aku belajar dari ibu yang tak pernah berhenti mengajarkan tentang arti kesabaran dan pentingnya hati yang bersih.
"Farhan, janganlah hatimu keras. Hidup ini sementara, jangan sampai kita terjebak dalam sifat munafik---berkata baik, namun berbuat buruk. Lebih baik kita sedikit bicara, tapi selalu berbuat baik," begitu kata ibu suatu sore saat kami duduk di beranda rumah.
Hari itu aku sedang pulang dari masjid setelah salat Ashar. Aku bertemu Raka, teman sekelasku, yang terlihat kesal karena kehilangan uang jajannya.
"Siapa yang ambil, ya Allah? Padahal uang itu buat beli buku!" gerutunya.
Aku tahu siapa yang mengambilnya. Tadi aku sempat melihat Bayu, teman sebangku Raka, menyelipkan uang itu ke saku celananya. Namun aku bingung, haruskah aku bilang? Atau diam saja agar tidak mempermalukan Bayu? Akhirnya, aku memilih mendekati Bayu setelah Raka pergi.
"Bay, aku lihat kamu ambil uang Raka tadi. Kenapa kamu lakukan itu?" tanyaku pelan. Wajahnya berubah pucat. "Jangan bilang siapa-siapa, Han. Aku... aku butuh buat jajan. Lagian, cuma sedikit."
Aku menarik napas panjang. "Bayu, itu bukan soal sedikit atau banyak. Kalau kita pura-pura baik di depan teman, tapi diam-diam berbuat salah, itu sama saja dengan munafik. Nabi mengajarkan kita untuk jujur meski pahit. Kembalikanlah uang itu, sebelum hatimu semakin keras." Bayu menunduk, lalu berlari pergi.
Malamnya, aku menceritakan kejadian itu kepada ibu.
"Alhamdulillah, kau sudah berusaha menasihati temanmu. Ingat, Farhan, menasihati itu bagian dari berbuat baik. Kalau kita hanya diam, itu sama saja membiarkan keburukan tumbuh. Namun, lakukanlah dengan hati yang lembut, agar orang tidak merasa dihina."
Aku mengangguk. Kata-kata ibu selalu menenangkan hatiku. Keesokan harinya, Bayu datang padaku dengan wajah tertunduk.