Beberapa waktu lalu, ada berita soal ledakan amunisi afkir TNI di Garut. Peristiwanya terjadi 13 Mei 2025. Dan merenggut nyawa warga sipil.
Tapi yang bikin saya makin miris. Bukan cuma kejadian tragisnya. Melainkan cara institusi merespons.
Belum juga investigasi rampung. Pernyataan resmi dari pihak militer sudah lebih dulu menyasar masyarakat.
Mereka bilang, "Itu karena warga suka memulung selongsong bekas.". Seolah-olah para korban tewas karena ulah mereka sendiri.
Keesokan harinya, narasi itu makin digencarkan. Kali ini giliran tokoh militer senior yang ikut bicara. Menguatkan tudingan tersebut.
Sementara di sisi lain, keluarga korban justru mengaku. Bahwa orang-orang yang jadi korban ada di sana. Karena dipekerjakan oleh pihak militer sendiri. Mereka bukan pemulung liar. Tapi bagian dari kegiatan resmi pemusnahan amunisi.
Waktu saya baca ini, saya langsung keinget satu istilah lama. Yang sering dipakai buat menghindari tanggung jawab. Kambing hitam.
Ini bukan kasus pertama. Dan kayaknya juga bukan yang terakhir.
Kenapa? Karena ketika institusi udah nyaman melempar kesalahan ke pihak lain. Baik itu individu. Masyarakat. Atau bahkan golongan tertentu. Mereka jadi enggan bercermin.
Dan ini bukan cuma soal satu insiden. Ada sejarah panjang di balik praktik pengambinghitaman ini.
Dari zaman purba sampai hari ini. Dari ranah agama sampai politik negara. Dari tragedi besar sampai berita sehari-hari.