Mohon tunggu...
Zika Amell
Zika Amell Mohon Tunggu... Wiraswasta - writerpreuner

Seorang wanita yang menyukai birunya laut serta hamparan awan yang memutih di kaki langit. Saat ini sedang mencoba mengukir asa di serangkaian diksi yang menjelma sebuah keindahan dalam lara. Jalin silaturahmi boleh di sini Add fb Zika Amell Follow IG @zika_amell

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penantian Ibu

23 Februari 2020   05:58 Diperbarui: 23 Februari 2020   06:07 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Jangan ganggu Ibu! Biarkan Ibu di sini, menunggu bapakmu pulang!" pekik perempuan itu dengan warna muka yang merah menyala, diikuti tatapannya yang begitu tajam padaku.

Perlahan aku mundur satu langkah dari sisi Ibu. Namun, aku tak dapat menahan sesak ini karena setiap dua minggu sekali kelakuan Ibu menjadi aneh. Ibu terus saja menunggu dan menunggu. Namun, yang ditunggu tidak kunjung datang. Hanya kekecewaan yang didapatnya.

Tiga tahun lalu, keluarga kami sangat bahagia. Pun kehangatan dalam kehidupan kami kian tercipta dari hari ke hari.

Sejak Aku lahir, Ibu memutuskan tidak bekerja lagi di perusahaan ternama di Jakarta. Sehari-hari kegiatan Ibu hanya mengurus rumah tangga saja. Sedangkan Bapak bekerja di perusahaan yang terletak di luar kota, tepatnya di daerah Bogor.

Aku hanya mempunyai satu orang Adik. Rangga namanya. Aku dan Rangga sangat akrab. Saat ada masalah, tak lupa Adik membagi bebannya padaku. Pun sebaliknya disaat aku yang bermasalah.

"Bu, minggu ini Bapak pulang, kan?" tanya Rangga yang tengah asyik menonton TV.

"Iya, Nak," jawab Ibu sembari melipat baju bersamaku.

"Rangga mau kita piknik, Bu," lanjut Adikku dengan wajah sedikit tersenyum.

"Emang, kali ini kita mau jalan-jalan kemana, Bu?" Aku menimpali karena ikut senang.

"Tenang aja kalian, nanti begitu bapak pulang, Ibu akan membicarakannya, oke," ucap Ibu sambil beranjak dengan pelan menuju kamar.

***

"Rani!" seru Ibu memanggilku.

"Ayo siap-siap!" perintah Ibu padaku."

"Tadi Bapakmu nelfon, katanya sebentar lagi akan sampai ke Jakarta dan menjemput kita pergi piknik."

Seperti biasa, Ibu dengan dandanan khasnya. Selalu terlihat tersenyum bahagia dengan mengenakan  gamis abaya lengkap tas tangan yang berwarna gelap dipercantik oleh kerudung berwarna senada dengan sepatunya. Ah, namanya mencintai tidak pandang seberapa lama usia pernikahan.

Setelah semua perlengkapan piknik kami siapkan.  Kami pun duduk di teras rumah untuk beberapa saat.

"Rangga, cepat, Nak! Jangan sampai bapakmu datang, kita belum siap." Suara Ibu menggema sampai ke dalam kamar Rangga.

"Siap, Bu!" teriak Rangga. Anak itu segera bergerak cepat menuju teras.

Kutatap rona bahagia dari wajah Ibu. Menunggu Bapak pulang dari pekerjaan di luar kota adalah kebahagiaan tersendiri bagi Ibu.

Pun Aku dan Rangga merasakan hal yang sama seperti Ibu.

Akhirnya, Bapak datang juga. Tampak dari jauh, beliau menghadirkan seulas senyuman yang tulus.

" Terima kasih, Buk, karena selalu setia di sini menunggu Bapak." Lelaki paruh baya itu menyentuh pundak Ibu dan berpelukan dengan mesra.

"Ayo, kita berangkat sekarang!" seru Bapak dengan penuh semangat.

Beberapa saat kemudian, sampailah kami di tempat di mana sebagian manusia berkumpul menikmati panorama alam yang sangat indah. Iya, kami sekeluarga sangat mengagumi keindahan pantai. Hampir setiap pantai di kota ini telah kami kunjungi.

Hamparan pasir putih dengan percikan ombak yang menyentuh mata kaki begitu kami nikmati.

Birunya langit yang membentang sepanjang pantai seolah sempurna melengkapi.

"Bu, semoga kehangatan dalam keluarga kita akan selalu seperti ini, ya?" Ucapan Bapak begitu halus terdengar olehku.

" Iya, Pak, Ibu juga mau keluarga kita bahagia dan hangat seperti ini," balas wanita bijak itu dengan tatapan serius kepada bapak.

Pertemuan yang membahagiakan itu menjadi yang terakhir kalinya dengan Bapak.

Sebelum Sang Maha Kuasa memanggil dan menghadap Ilahi.

Tepat satu bulan setelah kami bertemu, Bapak mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang ke rumah. Sementara Ibu, langsung histeris saat mengetahui kabar musibah itu.

Ibu terus menjerit dan meracau sendiri dan mencoba menenangkan hatinya.

"Bapak ... Pak. Kau tidak apa-apa kan, Pak? Aku masih menunggumu pulang, pak!" pekik wanita ringkih itu.

"Bu, bapak udah gak ada, Bu." Aku mengelus punggung tangannya. Menggenggam erat.

Rangga juga ikut memeluk Ibu. Mungkin karena rasa kasih sayang yang dimiliki untuk Bapak, jadinya keadaan Ibu seperti ini. Tak dapat menerima kenyataan yang begitu pahit dalam hidupnya.

Walaupun jenazah Bapak di depan mata, Ibu tetap tidak percaya kalau itu Bapak. Malah yang ibu lakukan hanya diam, melamun, dan tertawa tidak jelas. Rambutnya yang tertutupi dengan kerudung, kini berubah menjadi kusut sebab setiap kali ia melamun, terus saja mengacaknya.

Anehnya, setelah dua minggu Bapak meninggal, tiba-tiba penampilan Ibu berubah. Kembali kebiasaannya menunggu Bapak di teras depan rumah terulang.

"Rangga ... Rani! Cepat bersiap-siap, sebentar lagi Bapak pulang jemput kita piknik!" seru Ibu dari teras yang membuat aku dan adikku kaget bukan kepalang.

"Kak, kenapa ibu memanggil kita dan disuruh bersiap segala, bukannya bapak udah ...," ucap Rangga yang ikut kaget mendengar Ibu memanggil.

"Iya, kakak juga nggak tahu kenapa ibu bersikap aneh gitu," jawabku sekenanya.

Kejadian itu terus berulang setiap dua minggu sekali. Bahkan kami berkali-kali mencoba meyakinkan Ibu dan berusaha membawa Ibu ke dokter. Kata tetangga dan orang sekitar rumah,  Ibu harus diperiksa kejiwaannya.

Waktu itu Ibu masih dengan keadaan tenang saat dilakukan pemeriksaan. Reaksinya menunjukkan Ibu tidak perlu dirawat di rumah sakit.

Begitu sampai di rumah, Ibu kembali berlaku aneh. Terus saja meronta-ronta dan berteriak memanggil nama Bapak.

"Rahmat ... Pak Rahmat! Aku masih menunggumu pak ...."

Mata menerawang jauh dan tatapan kosong. Seolah tiada lagi harapan dalam hatinya. Tak seperti ekspresi wajah yang selalu tersenyum dengan penampilan anggun ketika duduk diam di teras.

Tiga tahun berlalu dengan keadaan sama. Menunggu tanpa ada yang datang. Mengharap tanpa menuntut. Ketulusan yang Ibu miliki akhirnya membawanya ke  pemilik hidup. Ibu mengembuskan napas terakhirnya dalam keadaan terduduk sedang menanti cinta sejatinya.

Semoga kedua insan yang saling mencinta dipertemukan Tuhan di surga.

Selesai

Ketapang, 23 Februari 2020

Ingin terhubung langsung dengan penulis?

Jangan lupa follow media sosialnya

Facebook: Zika Amell

Instagram: @zikaamell

Wattpad: zika_amell

Happy reading...
Jangan lupa kasih vote biar aku tambah semangat lagi nulisnya..hehe

Thank you...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun