Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengubah Pola Pikir Guru di Abad 21

27 Agustus 2017   07:59 Diperbarui: 27 Agustus 2017   14:40 6099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan sebelumnya, kita telah mengelaborasi kontradiksi guru abad 20 dan 21 dengan perbandingan LOTS dan HOTS. Berpikir tingkat tinggi dengan menggunakan teminologi "menganalisis-mengevaluasi-mencipta" adalah hal yang bisa meningkatkan SDM. Bila saja abad 20 yang masih berkutat pada dimensi "mengingat-memahami-mengaplikasikan" dan dipandang mendesai  manusia yang hanya tahu, maka dalam praktiknya, guru di abad 21 harus membuka diri dan berupaya dalam meningkatkan kemampuan kognisi siswa sesuai dengan HOTS di abad ini. Tujuannya satu, mempersiapkan mereka hidup di abad 21.

Guru Masa Kini (2)

Kontradiksi kedua adalah Kompetitif vs. Kolaboratif. Dulu pada abad yang lalu, guru mendesain ruang kelasnya dengan prinsip kompetisi. Ruang kelas yang menjadi bagian dari sekolah adalah miniatur kehidupan masyarakat yang luas. Dengannya dapat tergambarkan bagaimana generasi penerus bangsa dipersiapkan dari ruang-ruang kecil ini. Ruang kelas dengan prinsip kompetisi akan melahirkan kompetisi dalam kehidupan, yang pada akhirnya akan melahirkan ranking individu atas hasil belajarnya.

Bila saja kita sepakat bahwa "sekolah" derivasi "the school" yang bermakna orang bebas, atau peruntukan manusia yang tidak bekerja, maka sekolah adalah tempat mempersiapkan anak untuk masa depannya. Dan bila masa depan adalah tentang kompetisi, maka apakah kehidupan itu hanya tentang kompetisi? Apakah kita dilahirkan untuk berkompetisi? Apa yang kita dapatkan dari kompetisi? Setelah kita mendapatkan ranking satu, apa dampaknya dalam kehidupan? Sepertinya paradigma ini salah, walaupun tidak semuanya salah.

Kompetisi sejatinya adalah sebagai motivasi dalam melakukan kegiatan. Ia bukanlah salah satu instrumen dalam memajukan kehidupan. Kompetisi dilakukan untuk menjadikan kehidupan kita menjadi lebih baik karena harus berpacu dengan kehebatan yang dilakukan oleh orang lain. Semakin kita dapat berkompetisi, semakin hebat pula kita bila disandingkan dengan "lawan". Salahnya, kehebatan kehidupan kita diukur dalam dimensi "mengalahkan" lawan. Apakah hidup kita mesti mengalahkan dan lebih tinggi dari "lawan" kita?

Sejatinya hidup itu bukan lawan-lawanan, hebat-hebatan, atau menang-menangan. Dalam setiap individu, kita meyakini memiliki kekuatan (keunggulan) sekaligus kelemahan. Kekuatan individu dalam abad 21 diposisikan bukan untuk mengalahkan mereka yang lemah, namun untuk memperkuat mereka yang lemah. Kelemahan kita bukan berarti untuk mengalah dari mereka yang kuat, namun kelemahan kita bagian dari memberi kesempatan mereka yang kuat. Bila aspek kehidupan yang sangat luas ini dilakukan dengan mengkolaborasikan setiap kelemahan dan kekuatan, maka lahirlah kerjasama yang hebat. Kerjasama ini akan melahirkan kehidupan yang lebih bermakna.

Kolaborasi adalah kata kunci dalam abad 21. Jika kompetisi adalah lebih mengedepankan aspek keunggulan individu dan dibandingkan dengan keunggulan individu lain, maka kolaboratif adalah memadukan setiap keunggulan dan kelemahan individu untuk bekerjasama dalam melakukan sesuatu. Analogi sederhananya adalah, adakah sebuah produk yang kita temui adalah produk seorang individu tanpa melibatkan orang lain? Baju yang kita pakai saja dipastikan melibatkan ratusan, ribuan atau bahkan jutaan orang dalam prosesnya. Berapa orang yang terlibat dalam kebun kapas, berapa ratus orang yang terlibat di pabrik kain, berapa yang terlibat dalam distribusi kain, berapa orang yang terlibat dalam penjaitan, dan seterusnya.

Artinya, kolaborasi adalah instrumen kehidupan yang memang harus dilakukan. Kalau dulu kompetisi dilakukan di ruang kelas sebagai bagian penting dalam mempersiapkan anak dalam kehidupan, maka akhirnya adalah indivisualisme dan anti-produktif. Karena kemampuan individu terbatas. Nah, sekarang bila itu dirubah menjadi kolaboratif, maka setiap anak selalu bekerja sama dalam gotong royong untuk menggapai tujuan bersama. Dengan kolaboratif inilah guru akan menjadi bagian penting dalam kerjasama yang dilakukan oleh siswa. Guru menjadi motivator, prompter, manager, direktur, bahkan menjadi bagian dari anggota kelompoknya. Miniatur kehidupan bukan?

Guru dengan paradigma kolaboratif akan membangun kehidupan lebih baik. Perang yang sifatnya kompetitif akan dihindari. Sakit-menyakiti akibat dari kompetitif akan diminimalisir. Hegemoni dan penindasan kepada yang lemah yang berproses dalam kompetitif akan segera berakhir. Guru dengan tipe ini lebih memanusiakan manusia. Manusia yang butuh orang lain. Manusia yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia yang bisa bersaing dalam kerjasamanya.

Guru Move On vs. Guru Move Off

Guru move on adalah guru yang mau berubah. Sebaliknya guru yang move off adalah guru yang tidak mau berubah dan berkeyakinan tinggi akan paradigma sebelumnya. Bila guru kita dididik oleh seniornya dengan menggunakan paradigma lalu, maka hasilnya dipastikan menggunakan paradigma lama sebagai landasannya. Guru yang move off bertujuan mewariskan masa lalu ke anak didiknya. Guru move on adalah guru yang sadar ingin menyiapkan masa depan siswanya. Makanya, guru ini tidak membawa siswanya ke dunianya (dunia masa lalu), namun dia masuk ke dunia siswa dan mencoba meraba dan mempersiapkan masa depannya.

Masa depan siswa abad ini adalah masa di mana siswa harus memiliki empat keterampilan pokok. Keterampilan itu yang dapat membuat siswa bertahan hidup di masa depan. Keterampilan itu adalah yang disingkat 4K: (1) kritis (berpikir kritis), (2) kreatif, (3) kolaboratif, (4) komunikatif. Keempat ini sebenarnya berujung pada individu yang produktif dan inovatif. Mereka dengan keterampilan ini akan mampu memproduk sebuah hasil pengetahuannya. Bukan hanya sebagai individu yang hanya "tahu" namun mereka yang mampu mengaktualisasikan ilmu pengetahuannya dalam produk yang bermanfaat bagi kehidupan.

Bila ini terjadi, maka sifat konsumerism dapat dihindari. Kita akui bahwa bangsa kita memiliki tingkat konsumerism tinggi dan hampir menjadi sasaran empuk dari negara produktif. Kita hanya menggunakan produk orang lain, bukan menggunakan produk sendiri. Alam bawah sadar kita yang dihasilkan dari pendidikan abad sebelumnya menciptakan bahwa menggunakan produk orang lain lebih bergengsi, lebih berkualitas dan lebih hebat. Hal inilah yang membuat negara kita belum bisa move on menjadi negara yang produktif.

Guru yang move on untuk berubah dari pengalaman dirinya dulu akan mencoba membuka diri dalam menguasai keterampilan abad dimana anak didiknya akan hidup. Guru macam ini menjadi bagian penting dalam kemajuan bangsa. Bila semua guru move on, maka akan dipastikan semua elemen bangsa akan berubah dan bangsa kita akan menjadi bangsa yang produkttif. 

Ruang kelas akan menjadi laboratorium-laboratorium kecil dalam menciptakan (create) barang baru yang bisa membanggakan generasi baru. Mereka tidak lagi akan menggunakan produk orang lain, karena mereka sendiri lah yang memiliki produknya. Mereka akan percaya diri untuk menggunakan produk sendiri daripada produk negara lain. Ke"gengsian" yang selama ini tertanam dalam setiap individu akan tercerabut dengan sendirinya, sehingga bangsa kita akan menjadi bangsa kreatif, produktif, dan inovatif.

Cara Kita Mengajar di Abad 21

Setelah kita terbuka untuk move on di abad 21, kita harus berupaya untuk merealisasikan dalam praktik pembelajaran di kelas. 4K yang menjadi keterampilan yang harus dilatihkan kepada siswa harus menjadi core dalam pembelajaran. Tujuan pembelajaran kreatif, inovatif, produktif dan afektif (KIPA) akan selalu menjadi tujuan akhir dari pembelajaran. Semua kegiatan pembelajaran akan diarahkan dalam melatih 4K dan mencapai tujuan KIPA.

Lalu, bagaimana agar terealisasikan dengan mudah? Paling tidak ada dua hal yang harus dikuasai dalam realisasi pembelajaran yakni: pendekatan dan model pembelajaran. Pertama pendekatan, yaitu landasan filosofis untuk meraih sebuah tujuan. Pendekatan itu mirif kacamata, ketika kita menggunakan kacamata hitam maka apa yang kita lihat akan terlihat hitam. Begitu juga berlaku bagi kaca mata biru. Pendekatan inilah yang akan menentukan "kaca pandang" guru dalam melakukan pembelajaran.

Berdasarkan tujuan abad 21 (4K dan KIPA), maka mengajar kita harus mencoba mencari pendekatan yang cocok. Dalam konteks Indonesia, hal ini telah dirangkai dalam kerangka kurikulum 2013 (K13). Kurikulum ini adalah kurikulum yang didesain untuk menjawab abad 21 agar siswa dapat dipersiapkan menjadi generasi emas Indonesia 2045. Pendekatan-pendekatan yang ditawarkan adalah pendekatan yang sangat berkelindan dengan kebutuhan abad 21.

Paling tidak, ada dua pendekatan pokok dalam pembelajaran K13 yaitu pendekatan inkuiri dan ilmiah. (1) pendekatan inkuiri adalah pendekatan dimana siswa tidak lagi diberi tahu namun mencari tahu. Pembelajaran ini membutuhkan waktu yang panjang dan tidak efektif dalam konteks penyampaian materi. Konsep pengetahuan dipandang tidak penting dalam tujuan pembelajarannya, namun yang paling penting adalah sikap atau keterampilan siswa dalam proses mendapatkan pengetahuan. Dengan pendekatan inilah akan lahir KIPA.

(2) pendekatan ilmiah (scientific approach, SA) adalah pendekatan yang dilakukan oleh para ilmuwan. Mereka menggunakan pendekatan ini untuk mengkritisi atau menguji sebuah fenomena untuk menciptakan sebuah entitas baru. Inilah prilaku inovatif dan produktif. Dengan menggunakan pendekatan ini, diharapkan siswa dapat menciptkan atau berinovasi dalam menciptakan produk seperti para ilmuwan.

Secara bertahap, ada lima langkah dalam implementasi SA ini. Orang indonesia memendekan dengan istilah 5M sedangkan dalam istilah bahasa Inggris dikenal dengan 5-ing. Kelimanya adalah "mengamati, observing", "menanya, questioning", mencoba, expementing", menalar, associating", "mengkomunikasikan, communicating". Lima langkah ini sangat kental dengan desain ilmu sain (IPA) yang sangat ilmiah dan positivistik. Namun dalam implementasinya dapat juga dikawinkan dengan pendekatan pembelajaran sosial dan humaniora. Karena karakteristik mata pelajaran yang berbeda, maka modifikasi 5M ini bisa dilakukan dan disesuaikan. Yang paling pokok, bagaimana guru menumbuhkan produktifitas siswa.

Untuk membahas kedua pendekatan yang penting ini perlu dikaji secara khusus agar lebih komprehensif. Ada banyak langkah-langkah yang bisa dijadikan pedoman untuk menjadikan pendekatan ini sebagai cara pandang guru dalam mengajar. Penerimaan guru terhadap dua pendekatan ini akan mampu meredesain pendidikan kita yang sudah kadung akut dalam pendekatan content based. Yaitu, pendekatan ekspositori dimana guru menyuapi anak didik secara reseptif.

Kedua model pembelajaran. Untuk menggapai 4K dan KIPA, model pembelajaran dengan pendekatan inkuiri dan SA dapat direalisasikan dalam beberapa model pembelajaran. Model pembelajaran ini bukan model yang kaku, namun bersifat terbuka dan dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan guru, siswa dan karakteristik materi pelajaran. Paling tidak ada empat model pembelajaran, yaitu (1) Inquiry discovery learning, (2) problem based learning, (3) project based learning, (4)cooperative learning.

Untuk mengetahui empat model pembelajaran itu, tunggu tulisan berikutnya. Membuat Anda penasaran membuat saya klepek-klepek.{}

Bumisyafikri, 27/08/17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun