Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku dan Wanita Cantik di Atas Sampan

25 Agustus 2019   16:20 Diperbarui: 4 September 2019   14:59 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian Satu

****

Hari masih pagi ketika wanita cantik berkacamata itu berjalan menuju ke arah tepian sungai yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat desa terpencil ini.

Pinggiran sungai disini umumnya memang di jadikan tempat untuk mandi dan mencuci baju oleh masyarakat di sekitar aliran sungai sini.

Selain di jadikan tempat untuk mandi dan mencuci, aku tahu ada banyak pantangan di tempat ini, selain di larang untuk menangkap ikan yang berada di dalam Lubuk Larangan, ada juga larangan untuk tidak membuang hajat di sepanjang aliran sungai ini. Dan ketergantungan masyarakat desa ini akan sungai membuat masyarakat di sini senantiasa menjaga dan melestarikan sungai ini, salah satunya membuat Lubuk larangan. 

Lubuk larangan merupakan suatu kawasan di sepanjang sungai ini yang telah disepakati bersama sebagai kawasan terlarang untuk mengambil ikan baik dengan cara apapun, apalagi dengan cara yang dapat merusak lingkungan sungai. Kesepakatan ini tertuang di dalam aturan adat dan hukum adat akan berlaku bagi masyarakat yang melanggar pantangan. Masyarakat desa ini meyakini siapapun yang mengambil ikan di wilayah ini atau melanggar aturan yang ada, akan mendapatkan bencana. 

Lubuk larangan di desa ini memiliki kedalaman 3-4 meter yang merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya ikan-ikan besar seperti Ikan Tapa dan lainnya. 

Kawasan yang menjadi lubuk larangan biasanya ditandai dengan tali yang melintang di atas Sungai. Ikan-ikan didalamnya juga unik, mereka bisa mengetahui batas lubuk larangan dan tidak akan keluar dari batas itu. Jika melewati batas, ikan-ikan itu boleh diambil oleh siapapun.

Hari masih pagi, ketika wanita cantik berkacamata yang hari ini kulihat mengenakan rok kain panjang berwarna hitam di padu dengan baju atasan berwarna putih itu terus berjalan menuju ke arahku.

Dari warung kopi yang berada di pinggir sungai tempat biasa aku duduk sambil meminum kopi, aku tahu jika wanita cantik berkacamata ini adalah guru yang baru datang dari kota yang jarak tempuhnya kurang lebih satu hari perjalanan jika menggunakan transportasi air dari desa ini.

Dari mulut beberapa pemuda yang diam-diam mengagumi kecantikannya, aku tahu jika wanita cantik berkaca mata ini adalah seorang guru Sekolah Dasar yang baru saja di tugaskan di desa ini. Sebuah desa yang masih menggunakan sampan sebagai salah satu alat transportasinya. Dan satu-satunya transportasi darat yang ada di desa ini hanyalah sepeda-sepeda tua peninggalan dari zaman Belanda dulu.

Sambil membakar sebatang rokok di tanganku, sambil menghisap asapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya pelan-pelan, mataku terus mengawasi semua gerak-gerik wanita cantik yang berasal dari kota yang aku tahu untuk sementara ini tinggal di rumah Kepala Desa dan keluarganya.

Jarak tempuh dari rumah Kepala Desa dengan Sekolah tempatnya mengajar itu sebenarnya tidak begitu jauh. Hanya saja untuk sampai ke tempatnya mengajar, dia harus melewati sungai ini, karena memang di desa terpencil ini belum memiliki jembatan seperti desa-desa lainnya. Desa terpencil ini adalah satu dari sembilan desa lainnya yang menjadi daerah penyangga Kawasan Suaka Margasatwa ini.

Pagi ini tak seperti biasa dia datang agak terlambat ke tempat ini. Air sungai pagi ini memang terlihat agak meluap jika di bandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Dari tadi malam hujan turun dengan lebatnya dan baru berhenti selepas adzan subuh tadi.

Berhenti sebentar, sambil menatap gumpalan awan yang menghitam, kulihat sesekali dia menatap ke arah sampan yang tengah kunaiki. Saat ini memang hanya ada satu sampan yang tertinggal di pinggiran sungai besar ini.

Dan setelah cukup lama terdiam, sambil kembali menatap ke arahku, akhirnya dia mulai berjalan lagi, mendekat ke arah sampan yang tengah aku naiki.

Sudah 19 hari dia menyeberangi sungai ini untuk pergi ke sekolah tempatnya mengajar. Tapi baru hari ini kulihat dia berani mendekati sampan ini.

****

Di sepanjang perjalanan menuju ke arah tempatnya mengajar, kulihat dia hanya diam sambil terus menatap ke arah sungai yang air nya tersibak akibat terbelah badan sampan.

Sambil menatap air sungai, sesekali ekor matanya kulihat diam-diam melirik ke arahku, tak ada perbincangan di antara kami berdua selama berada di atas sampan ini, dari tatapan matanya, sepertinya wanita cantik berkulit kuning langsat yang tengah duduk di depanku ini sepertinya begitu sungkan menatap kedua mataku.

Biasanya Sungai Tapa ini airnya jernih, jika tidak sedang meluap seperti saat ini, maka kita bisa melihat dengan jelas ikan-ikan yang sedang berenang di dalamnya.

Menurut abah khosim, salah satu orang yang paling di tua-kan di kampung ini, dahulu di dalam sungai ini ada Raja Ikan Tapah, menurutnya, tubuh ikan Tapah itu lebih besar dari ukuran sampan yang tengah aku bawa ini.

Oleh pendiri desa ini, sungai yang menjadi jalan utama menuju ke desa ini di namakan dengan nama Sungai Tapa. Di ambil dari nama Raja Ikan Tapah. Sejalan dengan nama desa ini yang juga di beri nama Desa Raja Tapa.

Langit yang terlihat mendung sejak pagi itu tiba-tiba saja menurunkan airnya ketika sampan yang tengah aku kemudiakan ini sudah berada di tengah-tengah Sungai Tapa ini. Hujan lebat yang turun di iringi dengan suara petir yang menggelegar itu membuat wanita cantik berkacamata ini panik dan ketakutan sekali berada di atas sampan di tengah-tengah sungai ini.

Aku berusaha untuk menenangkannya dan berusaha untuk tetap terlihat tenang di depannya. Arus sungai begitu deras hingga membuat dayung yang aku pergunakan untuk menyeimbangkan sampan ini patah menjadi dua bagian. Praktis saat aku tidak mampu lagi mengendalikan arah sampan ini.

Sampan yang aku dan wanita cantik naiki ini terseret arus hingga semakin menjauh dari tujuan awal yang hendak pergi ke arah sekolah tempat wanita cantik ini mengajar selama ini.

Masih terombang-ambing di atas sampan, sebelum hujan deras betul-betul membasahi tubuh wanita cantik yang berasal dari kota itu, aku segera memberikan jas hujan milikku kepada wanita cantik di depanku ini.

Dengan jas hujan pemberianku, kulihat dia berusaha menyelamatkan tas dan juga peralatan elektronik-nya agar tidak sampai kebasahan terkena air hujan.

Arus sungai semakin deras, dengan pendayung sampan yang telah patah menjadi dua bagian, aku terus berjuang agar sampan ini tidak sampai terbalik akibat terseret arus sungai yang begitu deras ini.

Melihat sampan yang tengah di naikinya itu terbawa arus, wanita cantik berkacamata ini menangis sesegukan sambil terus menatap ke tepian sungai yang semakin menjauh dan ke arahku yang tengah berusaha agar sampan yang kami naiki ini tidak sampai terbalik apalagi tenggelam ke dasar sungai Tapa ini.

Sampan terus meluncur mengikuti arus sungai yang deras ini. Wanita cantik berkacamata yang mengenakan rok panjang berwarna hitam, di padu dengan baju atasan berwarna putih itu kulihat mulai menggigil kedinginan saat baju yang di kenakannya mulai basah semua. Dari baju basah yang di kenakannya, bisa kulihat dengan jelas bentuk dan lekukan tubuhnya. Jas hujan yang tadi kuberikan, hanya dia pakai untuk membungkus tas dan peralatan elektronik-nya. Jujur saja aku merasa kasihan melihat wanita cantik yang saat ini tengah menggigil kedinginan ini.

Cukup jauh sampan yang kami naiki ini terbawa arus hingga ke hilir sungai Tapa ini. Saat sudah berada di tempat pertemuan dua arus dari dua  sungai yang berbeda ini, kulihat arus sungai sudah tidak sederas tadi, setelah laju sampan sedikit melambat, karena berada di perairan sudah lebih tenang dari sebelumnya, aku putuskan untuk terjun ke dalam sungai, lalu sambil berenang aku coba mendorong sampan ini ke tepian.

Sambil terus berenang aku berusaha mendorong sampan ini ketepian. Di ujung sana, di tepi sungai, di pinggir Hutan larangan aku melihat ada batang kayu besar yang telah tumbang, melintang dari atas daratan ke arah sungai dengan cabang-cabang kayunya menjuntai ke atas air di dalam sungai ini. Segera kudorong sampan yang di atasnya ada wanita cantik berkacamata ini ke arah batang kayu besar di tepian sungai di pinggir Hutan larangan.

Hutan larangan adalah suatu hutan atau sebagian hutan yang tidak bisa sembarangan orang boleh memasukinya.

Hutan larangan adalah suatu jenis hutan yang diklasifikasikan bukan berdasarkan vegetasi atau bentang alam atau hal-hal geografisnya, tetapi hutan ini diklasifikasikan berdasar nilai sakral yang diyakini oleh masyarakat sekitarnya terhadap hutan tersebut.

Hutan larangan dipercaya merupakan tempat keramat dimana dewa-dewa dan roh nenek moyang bersemayam. Dalam berbagai budaya di dunia, umumnya dinamakan dengan hutan keramat atau hutan suci, sehingga tempat-tempat tersebut juga merupakan tempat yang dilindungi.

****

Setelah berhasil membawa sampan ke pinggir kayu besar yang telah tumbang di pinggir Hutan larangan, aku segera menambatkan sampan ini dengan cara mengikatkan tali sampan pada cabang kayu besar menjuntai hingga menyentuh permukaan air itu, setelah kembali naik ke atas sampan, sambil menatap wanita cantik yang tengah menggigil kedinginan, aku katakan pada wanita cantik berkulit kuning langsat di depanku ini agar dia bersiap-siap untuk memanjat cabang yang menjuntai dari batang kayu besar di atas sampan ini agar bisa naik ke daratan.

Sambil menatap kedua matanya, aku coba jelaskan pada wanita cantik berkacamata yang masih terlihat ragu-ragu untuk memanjat itu bahwa dalam kondisi hujan lebat seperti ini, terlalu berbahaya bagi aku dan dia untuk tetap berada di atas sampan ini. Di antara suara petir yang menggelar, kuajak wanita cantik berkulit kuning langsat itu untuk pergi mencari tempat berteduh di dalam hutan.

****

Kuminta dia membuka sepatu hak tinggi yang di kenakannya, saat kulihat dia begitu kesulitan ketika hendak memanjat cabang batang kayu besar yang telah tumbang dan melintang di tepian sungai itu.

Dengan kondisi pakaian basah kuyup, di tambah dengan rok panjang yang di kenakannya, wanita cantik berkulit kuning langsat ini kulihat begitu kesulitan sekali ketika hendak memanjat cabang kayu yang menjuntai di depannya itu.

Melihatnya kesulitan saat hendak memanjat cabang kayu itu, aku segera mengambil posisi jongkok di depannya, sambil memintanya naik ke atas bahuku. Dengan menggendongnya, aku yakin tangannya itu bisa mencapai permukaan batang kayu besar yang sepertinya telah lama tumbang itu.

****

Sedikit malu-malu, antara ragu-ragu tapi mau, akhirnya wanita cantik yang pakaiannya telah basah semua itu meyingkapkan rok kain panjang yang di kenakannya di depanku.

Darahku berdesir, tatkala melihat betis putih mulus milik wanita cantik berkacamata ini tersingkap pas di depan mataku.

Di bawah langit, di antara derasnya air hujan yang masih terus mengguyur tubuhku dan tubuh wanita cantik ini, dengan tubuh yang sudah basah semua, setelah memintaku jongkok membelakangi dirinya, akhirnya wanita cantik yang berasal dari kota itu memberanikan dirinya untuk naik ke atas bahuku.

Awalnya dia hendak memijakkan kedua kakinya itu di kedua bahuku, tapi karena tubuhku saat ini tak berbaju dan terasa begitu licin di kedua telapak kakinya itu, akhirnya dengan sedikit malu-malu, dia naik lalu duduk di bahuku dengan cara mengangkangi batang leherku.

Sambil menjaga keseimbangan tubuhku dan tubuh wanita cantik yang tengah duduk di bahuku, dengan cara mengangkangi batang leherku sambil memegangi kepalaku untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, sambil memegang cabang kayu, pelan-pelan aku mulai berdiri hingga tubuh wanita cantik ini berada di depan permukaan batang kayu besar yang telah tumbang itu. 

Setelah tangan wanita cantik ini berhasil mencapai dan memeluk permukaan batang kayu besar yang sepertinya telah lama tumbang itu, sambil memijakkan kedua kakinya itu di bahuku, pelan tapi pasti, wanita cantik itu berhasil naik ke atas permukaan batang kayu dengan sedikit dorongan dari kedua tanganku ke bagian belakang tubuhnya itu.


-Bersambung-

Bahan bacaan : 1, 2

Catatan : Di buat oleh, Warkasa1919 dan Apriani Dinni. Baca juga Aku dan Lelaki Sampan yang di buat oleh Apriani Dinni. Jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun