Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Karena Membaca Puisi Sambil Gosok Gigi di Depan Cermin Kamar Mandi itu Spirituil!

1 September 2016   14:54 Diperbarui: 1 April 2017   08:42 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:http://bathroomgraffitifeminists.tumblr.com/post/53938267164/autopsi-art-you-look-fine-unknown-artist

“Ambil buku puisi di rak bukumu, dan bacalah keras-keras di depan cermin kamar mandi sambil gosok gigi,” pesan saya kepada seorang kawan yang masih amat pagi tapi hatinya sudah nelangsa, dan ia menolak nikmatnya kopi dan pagi di akhir pekan ini.

Pesan itu begitu saja keluar dari pikir saya, dan meluncur melalui dua jempol saya di atas layar gawai ke salah seorang kawan—yang saya membayangkan sedang duduk di beranda kamarnya dengan wajah yang serupa jalanan depan rumahnya yang semalam diguyur hujan, mungkin juga genangan—dan kenangan, tentu saja.

“Nah tunggu reaksinya...,” kata saya lagi.

Kawan saya itu, mungkin masih dirundung kecewa karena cinta yang dirawat selama lebih dari 3 purnama dan 3 bolak-balik angin barat dan timur itu hancur berantakan hanya karena alasan yang terdengar di telinganya seperti dibuat-buat, seperti puisi-puisi Kanda Taufik Ismail, misalnya, dan tentu bukan puisi itu yang saya sarankan untuk dibacanya sambil gosok gigi. Sebab sampean tahu, puisi Kanda Taufik Ismail dibaca sambil kayang pun tetap saja tidak asik kedengarannya. Karena itu saya tidak mau menambah nelangsa kawan saya.

“Perhatikanlah, cerminmu akan penuh busa yang menyembur dari mulutmu, dan kemudian gusimu menjadi merah, karena darah. Sebab sikat gigimu menggosok bagian yang salah. Tapi di situ kau akan mengkhayati puisi lebih dari si penyair itu sendiri. Karena saat gosok gigi adalah saat yang paling spirituil. Merujuk Romo Mangun, misalnya, membaca puisi sambil gosok gigi adalah cara penghayatan yang mendekati tingkat ma’rifat—mungkin ini yang disebut reliogiositas. Di titik itulah kau akan mudah mengerti dan tahu maksud larik puisi: semua tidak bisa lepas dari balur dan luka."

Kawan saya tetap nelangsa. Saya tidak tahu apakah dia sudah melakukan saran saya atau belum. Yang saya tahu, ia malah mengutuk pagi: kenapa mesti ada pagi bila malam membuatku terus mengingatnya dan saat malamlah aku benar-benar bisa menjaga cintanya, dan kenapa mesti ada perpisahan kalau pertemuan membahagiakan....

Saya hanya diam, dan meneguk kopi saya. Kami terbentang sekian jarak, dan terhubung oleh kotak ajaib yang berupa gawai, mungkin dipisahkan oleh nasib, setidaknya tadi pagi.

Akhirnya saya mengirim gambar itu, dan memberi saran lagi: sudah, cercaplah kopimu, sebelum ampasnya menertawaimu; mosok begitu saja nelangsa? ‘Bagaimana sampean jadi aku, yang dipetik, dijemur, dijual, disangrai, digiling lalu diseduh, proses yang panjang itu tak menghargai aku sebagai biji—dan kalian gemar menyebutku si hitam yang pahit dan asam?

Saya tahu, itu bukan saran yang asik. Tapi siapa yang bisa memberi saran untuk seorang yang sedang patah hati, dan sangat mungkin terlintas di benaknya untuk bunuh diri—atau setidak-tidaknya masturbasi yang dibalur terlebih dulu dengan minyak sayur dingin hasil menggoreng ikan asin, kan?

Lekas baca puisi dan gosok gigi di depan cermin kamar mandi!

*Postscrip: Perihal identitas 'Kawan' di atas, tidak perlu saya ungkap di sini. Cukup saya, ia, dan gugel--sebab saya yakin komunikasi-onlen itu tercatat dan tersimpan di awan-penyimpanan gugel. Dan saya mohon, janganlah menduga-duga dan mencoba bertanya 'siapa', karena saya tidak akan menjawabnya. Sebab itu akan membuatnya semakin nelangsa. Sudah itu saja!

*Tyo Prakoso,Pembaca dan Perajin (Tulisan). Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra(2016).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun