Melihat Keindahan Panorama Alam di Desa Wisata Tempur
Setibanya kami di Desa Damarwulan yang berjarak sekitar sembilan kilometer sebelum sampai di desa tujuan, yaitu Tempur, terdengar suara adzan dluhur, kamipun beristirahat dan melaksanakan shalat dluhur di sebuah Masjid.
Setelah berjam-jam digoyang oleh motor gila dengan joknya yang lumayan keras, sehingga cukup menyiksa, maka rasa kram di pinggang tiba-tiba serasa menyerang. Sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan itu akhirnya terbayar sudah, setelah melihat pemandangan alam sekitar yang menakjubkan dengan tebing-tebing curamnya. Lebih mirip dengan Ngarai Sianok di Bukittinggi di Sumatra Barat. Semenjak memasuki Desa Damarwulan, di sepanjang kanan dan kiri jalan dipenuhi dengan pepohonan tinggi serta pohonan kopi yang berjajar di sepanjang pinggir jalan serta sebagian pohon kakao. Tajuknya yang rimbun dan tidak terlalu tinggi itu sangat membantu untuk kegiatan pada masa memasuki musim panen. Tanaman padi yang menghijau dengan berkelok-kelok secara teratur, menambah keunikan tersendiri akan keeksotisan alamnya. Lebih mirip dengan sistem Subak di Bali.
Sekitar dua kilometer sebelum memasuki Desa Tempur, nampak sungai dengan arusnya yang lumayan deras. Rupanya searah aliran sungai ke hulu itulah, Desa Tempur berada. Sungai yang dihiasi bebatuan yang besar-besar itu mengiringi sepanjang perjalanan kami. Nampak pula beberapa air terjun alami yang begitu tinggi, sama sekali belum terjamah oleh tangan-tangan manusia. Indikasi itu mengarah pada semak belukar yang mendominasi persis di bawah air terjun itu berada. Tujuan kami semula adalah ketempat dua buah candi, yaitu Candi Angin dan satunya lagi Candi Bubrah. Serta ke sentra perkebunan salak di Dukuh Kemiren.
Salah satu hal yang menarik perhatian kami adalah kemunculan seorang bule dari Amerika yang baru saja turun dari atas dengan berlari-lari kecil, sungguh diluar dugaan. Perhatian kamipun akhirnya tertuju pada bule itu. Begitu kami berkenalan bla-bla-bla. Ternyata bule yang diketahui bernama Dan Stiff itu bertempat tinggal di Desa Tempur. Dari penuturannya, ia telah kadung jatuh hati pada Desa Tempur dan tentu saja juga pada istrinya yang asli warga Desa Tempur. Sudah sekitar dua tahun Mr. Dan Stiff tinggal di Desa Tempur. Dua insan dari dua benua dan suku yang berbeda itu, membangun istananya tepat di jantung Desa Tempur. Begitu tiba di rumahnya kami disambut dengan penuh kehangatan, berbincang-bincang dari A sampai Z.
Rumahnya yang dinamis itu begitu berkesan dengan sentuhan sedikit klasik. Memiliki beberapa view, diantaranya view garden, view mountaint, view river dan view the big stone nya. Rasa penasaran kami akan aroma dan rasa dari kopi tempur akhirnya terbayar sudah. Mr. Dan Stiff menyuruh istrinya, Mbak Rumijah, untuk membuatkan kopi tempur, kopi khas jepara. Kopi yang telah disangrai itu lalu diblender dengan kecepatan maksimum. Lalu terciptalah kopi tempur. Begitu tercecap di lidah. Hemmmm....
Sedikit pahit brooo....
Maklum, bahan bakunya seratus persen dari kopi asli tanpa campuran beras ataupun kelapa, tidak seperti kopi-kopi yang beredar di warung-warung.
Tanpa terasa hari telah sore, rupanya kami berbincang terlalu lama. Akhirnya kamipun pulang, tujuan kami ke sentra perkebunan salak di dusun Kemiren kandas karena diluar musim, kami hanya menjumpai rumpunan pohon salak yang begitu subur dan mulai memasuki musim berbunga. Sedangkan tujuan kami yang ke tempat Candi Angin urung terlaksana gegara bersilaturrakhmi kerumah Mr. Dan Stiff. Tetapi kekecewaan itu tergantikan sebuah kebanggaan tersendiri, oleh sebab bersilaturrakhmi dengan Mr. Dan Stiff, seorang bule dari Amerika. Kehangatannya membuat kami menjadi semakin cinta akan tanah air kami, Indonesia...
Hisyam dan Alwi/Addison.