Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dokter Ketiga

21 Desember 2018   11:13 Diperbarui: 22 Desember 2018   01:01 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribunnews.com

***
Saya memilih pagi hari saja. Bapak pun berkenan.  "Sore sering hujan," begitu alasan saya. Setengah enam pagi berangkat dari rumah. Kami bermotor berboncengan ke kota, ke tempat praktek  dokter Rangoyo. Dekat pertigaan sebelah minimarket. Tempat praktek dokter bersama ternyata.   Ada empat papan nama terpasang di dekat pintu masuk.  Kami menunggu di sebelah bangunan itu.  

Di emper sebuah toko yang masih tutup.  Ketika pintu gerbang tempat praktek sedikit terbuka, kemudian muncul seorang perempuan.  Dan saya bertanya,"Jam berapa  dokter Rangoyo praktek?"

"Oh, beliau sudah tidak praktek di sini." Lanjutnya, beliau praktek sore hari di rumah sakit dekat Pengadilan Negeri.
Kami yang menunggu lama jadi kecewa.  Mestinya papannya diturunkan.  Jangan dibiarkan terpasang begitu.  Bapak menggerutu.  Kami pulang ke rumah. "Mungkin belum sempat," saya mencoba menenangkannya.

***
Hari ini kami datang pagi ke rumah sakit sebagaimana bulan-bulan lalu, selama tiga tahun ini.  Selalu mendekati pukul tujuh.  Saya sudah mendaftar tiga hari lalu.  Kami baru bisa menikmati layanan pendaftaran online. Sistem baru yang saya baca dari brosur.  Yang akhirnya memaksa saya mengganti HP menjadi tipe android.  Dini hari saya membuka aplikasi.  Saya ingin dapat nomor antrian kecil.  Saya pilih dokter Rangoyo sebagaimana permintaan Bapak.

Agaknya selama ini Bapak saya memendam rasa kurang puas. Bukan saja karena tensi darahnya jarang normal.  Padahal obatnya sampai lima macam.  Tiap hari harus minum.  Kadang merasa bosan.

Tapi ada hal lain. 

Dokter Yoiyo, dokter yang kali pertama menangani Bapak saya. Yang mengatakan ada pembengkakkan pada jantung.  Harus berobat rutin, seumur hidup. "Ini faktor usia. Tidak merokok kan?" Seketika Bapak menjawab: tidak, dok.

Saya maklum, Bapak sudah sepuh, dua tahun lagi berkepala delapan. Kondisi organ tubuhnya tak seperti dulu.  Kadang merasa enak.  Tapi sering kelelahan.

Dokter ini ramah.  Menyenangkan.  Selalu menanyakan keluarga kami. Tapi tiap hadir di ruang praktek Poli Dalam terlalu siang.  Hampir tak pernah pukul sembilan.  Selalu mundur setengah jam.  Bahkan bisa satu jam.  Saat begini, bapak saya amat gelisah.  Duduk tak tenang.  Bolak balik ke toilet.  Sekali waktu ke luar ruangan menghindari AC.  Dan ikut duduk berderet di bibir lantai koridor rumah sakit dengan orang banyak.

Kami kerepotan jika dapat nomor antrian besar. Kami jadi sering mendapat obat mendekati pukul tiga siang.  Bapak terlihat capai jika begini.  Saya kasihan.

Satunya lagi dokter Nahlo.  Masih muda belum kepala empat. Mahal senyum.  Jika jalan menuju ruang Poli Dalam, langkah kakinya cepat.  Ia selalu bersepatu sport bercelana jeans.  Orang ini jarang bertanya pada pasien.  Paling banter kalau ke Bapak saya begini: Biasa tinggi ya, Bapak.  Maksudnya tensi darahnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun