Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dokter Ketiga

21 Desember 2018   11:13 Diperbarui: 22 Desember 2018   01:01 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribunnews.com

Bapak sering meragukan cara memeriksa dokter ini.  Stetoskopnya digerakkan amat cepat.  Sekitar tiga detik.  Membentuk garis imajiner segitiga sama sisi.  Segitiga terbalik.  Bergerak di depan dada. "Nggak terasa di sini," kata Bapak  menunjuk dadanya bercerita ke saya. Malah tak nyentuh baju, lanjutnya. Agaknya sama dengan penglihatan saya.  Tapi saya berpikiran baik saja, mungkin memburu waktu karena banyak pasien menunggu.

Dan hari ini akhirnya terwujud.  Petugas memanggil Bapak.  Menyodorkan buku Rekam Medis yang makin menebal itu. Nomor urut di poli ini 005. Satu per satu masuk ruangan. Rasanya pemeriksaan dokter Rangoyo lama.  Lebih lama dari dua dokter sebelumnya.  Hampir sepuluh menitan. Pemeriksaan yang sempurna, batinku.  Sampai akhirnya Bapak saya masuk ruangan.

Dokter Rangoyo matanya terlihat sayu.  Mungkinkah karena berkacamata tebal?
Ia memasang gagang stetoskop ke telinga.  Kemudian memeriksa dada Bapak saya.  Pelan penuh penghayatan.  Agaknya Bapak saya terkesima. Ia membaca tulisan perawat pada halaman Rekam Medis saat diukur tensinya sebelum masuk.
" Wah, ini 184. Tinggi."
Bapak saya terdiam.  
"Hati- hati, Pak. Hindari gorengan.  Banyak istirahat."
"Ya, Pak dokter."
"Suka olah raga pagi?"
"Rutin, dok.  Jalan kaki."
"Oh, Bagus itu."

Dokter yang agaknya berusia lebih lima puluh tahun ini mengambil ballpoint.  Menandatangani berkas.  Kemudian menulis resep obat.  Setiap menulis satu jenis obat dia berhenti.  Wajahnya tertunduk. Bibirnya yang tebal membentuk huruf "O".  Ballpoint di tangan bergerak-gerak.  Saya menatapnya dari belakang bapak.  Bapak batuk-batuk.  Dokter Rangoyo terjaga. Agaknya dia mengantuk.

Dia menulis obat lagi.  Melanjutkan yang tadi.  Kemudian terhenti.  Diam sejenak.  Ballpoint bergoyang pelan nyaris mencoret kertas resep.  Sejenak ia terjaga.  Saya mulai tak nyaman.  Wajah  Bapak menampakkan kecemasan. Begitulah, setiap menulis satu jenis obat dia berhenti.  Tampaknya ia mengantuk.  Mengantuk berat.  Kini saya tahu, kenapa pemeriksaannya jadi terasa lama.

"Ya, sudah.  Ini obat untuk satu bulan," ucap dokter Rangoyo.  Kami meninggalkan ruangan.
***
"Saya khawatir apa nulis obatnya benar?" Ungkap Bapak sesampainya di rumah.  Saya tidak bisa memberi jawaban.  Saya tidak punya pengetahuan obat.  Tetapi saya memahami kekhawatiran bapak saya sebagai pasien.

Apa jadinya kalau salah obat, saya membatin.  Sebuah buku tulis saya ambil. Buku yang berisi catatan obat yang diberikan oleh dua dokter sebelumnya.   Setiap bulan saya mencatatnya.  Lewat internet saya mencari tahu fungsi obat-obatan  itu.  

Saya membandingkan dengan yang diberikan oleh dokter Rangoyo.  Ada satu obat yang tidak ada.  Yang selalu didapat berbulan-bulan kemarin.  Namanya furosamide.  Untuk pelancar buang air seni bagi penderita gangguan jantung.
"Tak ada yang seperti ini, Pak." Saya  tunjukkan sisa bulan kemarin.  "Yang buat pelancar kencing."
Bapak malah tersenyum.
"Terus bagaimana?" Sergah Bapak.
Sambil berjalan mengembalikan buku ke rak, saya jawab: Ya, beli di apotek, dong!

S_pras
21 Des 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun