Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Monoton #4

17 November 2019   19:02 Diperbarui: 17 November 2019   19:10 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat, pukul 05.30.

Suara alarm membangunkanku.

Aku duduk di tepi tempat tidur dan mengerjapkan mata.

Dari kamar mandi terdengar suara gayung yang beradu dengan air di dalam bak. 

Dengan langkah lemah, aku menuju meja makan untuk menikmati sarapan pagi yang sudah istriku sediakan.  Sepuluh detik kemudian pintu kamar mandi terbuka, istriku keluar dari kamar mandi.  Ia kaget melihatku berada di meja makan.

"Sayang, kamu kok sudah bangun?  Sudah sembuh?  Kepalamu masih sakit?" tanyanya beruntun.

"Masih sedikit sakit sih," jawabku.  "Tapi aku juga males kalau di rumah nggak ngapa-ngapain."

"Jadi?  Kamu mau masuk kerja hari ini??"

Aku mengangguk.  Kemarin aku tidak masuk kerja karena sakit kepalaku tiba-tiba menyerang.

"Nggak usah maksain diri," katanya.  "Kamu kan masih belum sehat."

"Nggak apa-apa.  Nanti kalau aku ngerasa nggak fit tinggal minta ijin pulang cepet aja."

"Ya sudah," istriku masuk kamar.  "Ingat, jangan maksain diri."

Aku hanya mengangguk dan meneruskan sarapanku pagi ini; setangkup roti tawar, sebutir telur mata sapi, serta segelas susu rendah lemak.

Dia bangun jam berapa?

***

Pukul 07.10, aku sudah di dalam kereta komuter yang penuh sesak.  Dengan kondisiku yang belum fit, keadaan ini lumayan menyiksa. Hanya saja, pancaran cahaya matahari dari luar yang biasanya aku hindari, saat ini terasa menyehatkan dibanding embusan angin dari pendingin udara.

Pukul 08.22 aku sudah berada di dalam lift.

Bella ada di depanku, memunggungiku.  Dari tubuhnya menguar aroma yang sangat seksi, perpaduan keringat dan parfum yang ia gunakan.

Pikiran kotorku kembali menyajikan fantasi liar yang nikmat.

Sialan! makiku.

Lagi sakit gini masih sempat-sempatnya mikirin itu.

Tapi, laki-laki mana yang tidak berfantasi tentang Bella?

Beberapa tahun lalu namanya menjadi bahan gunjingan.  Tua, muda, laki-laki, perempuan, semua membicarakan dia.

Sudah beberapa tahun...

Aku memandang punggung dan tengkuknya sekaligus membandingkan tubuhnya yang tingginya kira-kira sedaguku.

Dalam hati aku salut pada perempuan yang sedang memunggungiku ini.

Hebat juga sih dia.

Ting!

Pintu lift terbuka.

Tepat saat aku meletakkan ibu jari di mesin pemindai, jarum jam di tanganku menunjukkan angka 08.26.

Sekali lagi aku memandang punggung perempuan cantik yang saat ini menjadi sekretaris direksi di kantor tempatku bekerja.  Langkahnya cepat.

Bella...

Dia memang nggak banyak bicara...

***

Pukul 12.50 aku sudah menikmati makan siangku.

Istriku yang cemas dengan kondisiku sempat mengirim pesan WhatsApp padaku, menanyakan apakah aku baik-baik saja.

"Aku nggak apa-apa," balasku.  "Tapi kemungkinan aku bakal minta ijin pulang cepet."

"Ya sudah," balasnya. "Sehat terus ya, jangan sakit lagi.  Love you."

Tiga puluh menit kemudian aku memutuskan kembali ke ruangan, meninggalkan para salaryman yang masih asyik melakukan ritual makan siangnya.

***

Pukul 15.08 aku melewati parkiran untuk memesan ojek online yang akan membawaku ke stasiun kereta. Kondisi yang belum fit membuatku memutuskan pulang lebih cepat hari ini.

Saat menyusuri tiang-tiang parkiran, telingaku menangkap suara orang bertengkar dari balik salah satu tiang.

"Kamu itu!" sepertinya suara seorang laki-laki.

"Kenapa?!" kali ini terdengar suara seorang perempuan.

Aku berhenti sejenak, memastikan apa yang kudengar.

"Kenapa sih kamu selalu begini tiap hari?!" tanya si laki-laki, marah.

"Lho kenapa?!  Apa hakmu ngelarang-larang?!" sergah si perempuan.

Oh, sepertinya pertengkaran biasa, pikirku setelah menguping cukup lama.

Aku pun kembali melangkahkan kaki sementara pertengkaran itu terdengar makin sengit.

"Hei!  Kamu harusnya inget kalau kamu itu--"

Bodo ah, bukan urusan--

PLAK!

PLAKK!

Terdengar beberapa kali tamparan diikuti jerit kesakitan, teriakan marah, dan tangisan.

Aku terkesiap!

Spontan aku menuju sumber suara.

"Hei!" teriakku.

Terlihat olehku punggung seorang laki-laki.  Tangannya terangkat dan terkepal, sepertinya dia...

Mau mukul?

Aku menahan tangan yang terkepal itu.

"Jangan mukul cewek!" seruku.

Aku sekuat tenaga berusaha menahan tangan laki-laki tersebut.

"Jangan ikut campur!" serunya sembari berusaha melepaskan tangannya dari peganganku.

"Jangan mukul cewek!" aku mengulang kata-kataku.

Kami masih saling tahan saat aku baru sadar siapa perempuan yang ditampar itu.

D---dia?

DIA??

Perempuan itu -- perempuan dengan rambut sebahu.

Dia yang setiap hari pukul 12.55 masih berada di food court.  Dia yang beberapa hari belakangan ini mengundang rasa penasaranku.

"Lepasin!  LEPASIN!!" laki-laki itu berteriak marah.

Aku melihat perempuan itu terduduk, nampaknya ia masih shock karena ditampar tadi.

"Kamu nggak apa-apa?!" teriakku.  Perempuan dengan rambut sebahu itu memandangku.  Matanya berkaca-kaca.

Apa yang terjadi?

Siapa laki-laki ini?

Laki-laki itu akhirnya bisa melepas tangannya dari peganganku.  Setelah mengucap serapah, tangannya kini berganti arah hendak menghajarku.

Hanya beberapa saat sebelum keadaan menjadi lebih buruk, pandangan kami bertemu.

Dan...

"Kamu?!" teriaknya terkejut. Tangannya yang hendak menghajarku itu diturunkan.  "Kamu kan...?!"

Ia jelas terkesiap.

Tapi aku pun tak kalah terkesiap.

Wajahku pucat pasi.

Aku jelas sangat mengenal laki-laki itu.

Dia adalah...

"Pa...k?" hanya itu yang bisa kuucapkan.

Tubuhku lemas.

Dia -- laki-laki itu -- salah satu bosku.

Ini gawat!

"Pak?" sekali lagi hanya itu yang bisa kuucapkan.

Tiba-tiba perempuan itu menghambur memelukku.

"Tolong, tolong aku!" katanya.

Tapi aku hanya bisa terdiam.

Aku tak tahu harus bagaimana.

Pak Ryan -- bosku -- juga sama, terdiam sepertiku.

"Tolong aku," perempuan itu sekali lagi bersuara kali ini disertai isak tangisnya.

Sekali lagi, aku hanya mematung.

Aku memandang Pak Ryan.

Pak Ryan menarik napas, kemudian meninggalkan kami tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku...

Aku harus bagaimana?

Perempuan itu terus memelukku.

***

Malam ini pikiranku sungguh tak tenang.

Aku berusaha keras memejamkan mata dan mencoba tak memikirkan insiden sore tadi -- tapi sia-sia.

Bayangan bosku terus menghantui pikiranku.

Kenapa?

Apa yang harus kulakukan kalau sudah begini?

Selain itu, berbagai pertanyaan lain mengusikku.

Pak Ryan dan perempuan itu ada hubungan apa?

Kalau mereka sampai bertengkar, berarti mereka bukan orang asing, bahkan mungkin saling kenal.

Shit!

Apa yang tadi kulakukan?!

Pekerjaanku taruhannya!

Tubuhku menggigil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun