Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Niat Suciku Berbuah Bahagia

6 Juli 2019   10:50 Diperbarui: 6 Juli 2019   11:15 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Orang-orang boleh menyebutku bodoh, gila, atau apalah. Tapi aku tak perduli sama sekali. Kepalaku telah batu mencintai perempuan itu. Aku ingin menariknya dari lembah hitam, lalu mengajaknya menjelajahi kehidupan ini sesuai relnya. Karena apabila aku tak memerdulikannya, otomatis aku telah membuat kesalahan yang bertimpa-timpa. 

Pertama, aku telah membunuh benih cinta yang bersemi di hati kami. Kedua, aku telah membiarkan orang yang teraniaya tetap berkubang di lubang penganiayaan itu sendiri. Ketiga, aku telah menyebabkan seseorang berada dalam kungkungan dosa.

Okelah, di sini aku akan menjelaskan duduk persoalan yang telah dan sedang kuhadapi. Sekitar empat tahunan yang lalu, di masa aku masih bekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit, aku sering menemani teman-teman kerja ke lokalisasi di sudut kota P. Bukannya aku senang bermain perempuan tentunya, melainkan hanya ingin menyenangkan hati teman-temanku itu. 

Sebab mulut mereka pasti akan panjang, bila sekali saja aku menampik keinginan mereka. Aku dibilang bancilah, homo, tak setia kawan. Dan ketika kumpul lagi denganku, praktis sikap mereka berubah sinis. Ujung-ujungnya proses pekerjaan di perusahaan tempatku bekerja akan terhenti di tanganku. Karena teman-temanku itu ogah membantu.

Jadi, setiap kali menemani mereka ke lokalisasi, paling-paling aku hanya memesan minuman ringan dan duduk di meja sudut yang agak gelap. Aku  serupa anjing penjaga menunggu mereka usai menyelesaikan hasrat bejad itu.

Tapi sungguh, aku tak memahami apa yang menggeliat di hati ini pada Sabtu Malam yang dipenuhi gerimis. Seperti biasa aku menemani teman-teman berkencan di lokalisasi. Saat itulah mataku tertumbuk ke seorang perempuan muda yang pasti berstatus pendatang baru. 

Wajahnya lumayan cantik dengan kulit kuning langsat. Begitu teman-teman memergokiku tengah memperhatikannya, maka mereka langsung bersorak kegirangan. Untuk pertama kalinya mereka melihatku serius menatap seorang penjaja seks, setelah berbilang bulan aku hanya menjadi orang suci di sarang syahwat itu.

"Ayolah, kalau kau ingin, kami yang bayari. Aku sebenarnya sangat ingin mencoba perempuan satu itu. Tapi berhubung kau ingin, duluan sajalah mencicipinya. Ayolah.... Tak usah sungkan!" Demikian kata salah seorang temanku. 

Sementara aku hanya mesem-mesem. Karena sesungguhnya, secara syahwat, aku tak tertarik kepada perempuan itu. Aku hanya kasihan melihat roman mukanya yang sedih. Berbeda sekali dengan perempuan yang berkumpul di sekelilingnya. Mereka bercanda dan mengobrol sebagai upaya menarik si hidung belang atas kegenitan mereka.

Lalu, entah magnet apa yang bereaksi di tubuh ini, tiba-tiba aku ditarik dan duduk bersamanya di sebuah kamar. Saat itulah dia (sebut saja namanya Desi), menangis di hadapanku. Dia menceritakan bahwa dirinya baru tiga hari tersekap di lokalisasi itu. 

Sebelumnya dia hanya bekerja sebagai buruh tani di kota Kr. Berhubung dia ditawari seorang teman di kampungnya bekerja di sebuah perusahaan di kota P, dia pun tergiur. Sebagai gadis desa yang ingin membantu kehidupan keluarganya ke arah lebih baik, tentu itulah kesempatan langka yang tak boleh ditampik.

Kemudian dia berangkat ke kota P dengan mimpi-mimpi hidup sukses. Namun ternyata dia telah tertipu. Oleh temannya, dia diserahkan ke seorang mucikari di sebuah lokalisasi lumayan besar. Dia disekap dan diancam supaya jangan berbuat macam-macam. Melarikan diri sama artinya bunuh diri.

Akhirnya mulailah dia melayani lelaki hidung belang dengan sangat terpaksa. Meskipun sebelumnya dia berusaha agar orang yang memesannya mengurungkan niat berkencan dengannya, tapi toh srigala mana yang rela membiarkan sepotong daging segar tersiakan. Dia pun hanya dapat membuncahkan air mata, dan tak bisa berbuat apa-apa.

Hatiku langsung tersentuh. Begitulah berbilang hari aku mulai mendatanginya. Hanya sekedar mendengar keluh-kesahnya yang membuat hatiku tersembilu. Mungkin karena kasihan dan karena tempo pertemuan lumayan sering, mendadak timbul benih-benih cinta di antara kami.

Aku kemudian mencoba berkonsultasi dengan seorang teman tentang niatku menarik Desi dari lembah maksiat, sekaligus menikahinya. Temanku itu langsung tertawa. Dia mengatakanku sebagai lelaki bodoh. Untuk apa menikahi seorang Desi, bila perempuan "waras" masih bertebaran di mana-mana. Dia mencoba mengurungkan niatku, karena itu hanya akan membuatku susah.

Dasar cinta, sekaligus ada niat suci untuk mengembalikan seseorang ke jalan yang benar, aku tak perduli atas saran temanku menjauhi Desi. Malahan ketika seluruh rekan kerjaku tahu, dan mencemooh kepadaku, aku lebih tak perduli lagi. Tanpa tedeng aling-aling, aku langsung mendatangi si mucikari, serta berniat mengajak Desi kencan di luar.

Si mucikari kelihatan berberat hati meluluskan niatku. Berhubung aku sanggup memenuhi tawarannya sebesar dua setengah juta rupiah, untuk membawa Desi selama dua puluh empat jam, dia pun hanya mengangguk dengan tatapan was-was.

Desi, tanpa membawa seluruh pakaiannya, langsung kuantar ke rumah nenek di Dusun SM. Sengaja dia kutitipkan di situ. Lalu, kutemui kedua orangtuaku di kota P, sekaligus menyatakan niat ingin menikahi Desi.

Orangtuaku terkejut sekaligus senang. Begitupun, mereka sangat ingin tahu bibit, bebet dan bobot Desi. Aku tentu blingsatan. Kalau berbohong, sampai kapan aku bisa melakukannya? Bangkai itu bagaimanapun rapat menyembunyikannya, pastilah akan tercium juga. Maka, terus terang saja aku menceritakan kepada kedua orangtuaku tentang seluk-beluk kehidupan Desi.

Akibatnya dapat ditebak. Mereka berang bukan main. Meskipun aku lemparkan alasan bahwa yang kulakukan adalah kebaikan; yakni membawa seseorang dari sisi gelap ke sisi terang---dari lumpur dosa ke dunia bermartabat, tetap saja mereka menolak keinginanku.

Tetapi, siapa yang dapat menghalangi cinta dan niat suci? Seorang mucikari yang emosi karena anak buahnya tak kukembalikan dalam sekali duapuluh empat jam, pun dapat kusumpal mulutnya dengan lembaran uang, sekaligus mengancamnya jangan berbuat macam kalau tak ingin aku membeberkan bahwa dia telah memperdagangkan orang secara ilegal. Apalagi kalau hanya melanggar perintah orangtua. Aku yakin perbuatanku belum bersinggungan dengan kata "durhaka". 

Semarah-marahnya orangtua terhadap perbuatan anaknya, pastilah suatu saat akan teredam. Apalagi aku dan Desi kelak bisa merayu keduanya dengan seorang bayi mungil.

Ujung-ujungnya, dua bulan berselang, aku menikahi Desi di rumah nenek. Orangtuaku yang tak setuju, hanya meneleponku bahwa ini adalah pilihanku. Segala penyesalan di belakang hari, juga harus kutanggung sendiri. Dan aku memang merasa sanggup menanggung seluruh resiko atas pilihanku.

Demi menghindari cemoohan orang yang pernah mengetahui kehidupan Desi sebelumnya, kami pun hijrah ke kota J. Aku terpaksa berhenti bekerja di perusahaan kebun sawit, lalu berwiraswasta dibantu Desi. 

Alhamudillah, kondisi kami lambat-laun membaik. Usaha yang kami bangun dengan tetes keringat dan air mata, kiranya dirahmati Allah SWT. Kemudian setelah kami memperoleh anugerah seorang bayi lelaki yang tampan, kedua orangtuaku mulai sering bertelepon. Bahkan setelah anak kami berusia tiga bulan, mereka menyempatkan diri menginap di rumah selama tiga hari.

Ach, betapa damai kurasakan! Betapa aku bersyukur telah bisa menyelamatkan Desi, sehingga berada di posisi perempuan bermartabat. Sekarang dialah yang selalu menegurku agar tak terjerumus ke dunia dosa-dosa. Misalnya, mengingatkanku tentang shalat, puasa, mengaji dan ibadah-ibadah lainnya. Semoga ke depan kami tetap hidup dalam lindungan dan rahmat Allah SWT.

-----

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun