Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perjuangan Mendapatkan Istri

1 Juli 2019   15:04 Diperbarui: 1 Juli 2019   15:07 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Sudah lama sekali aku ingin menikahi seorang perempuan sederhana yang tinggal satu kampung denganku. Kami juga telah berbilang tahun berpacaran, meskipun sembunyi-sembunyi. Tapi apalah daya, hanya keberanian yang mengggelora dada, tapi buah tangan sama sekali tiada. Begitupun perjuangan yang gigih pasti mendapatkan yang lebih.

Aku hanyalah seorang buruh angkut di pasar kecamatan yang bekerja hanya sekali seminggu saat kalangan. Selebihnya kerjaku tak karuan. Terkadang membantu orang di sawah atau ladang, atau kerja-kerja lain semisal membantu orang membangun rumah.

Sementara Isna (nama samaran) adalah seorang guru sekolah. Bagaimanapun dari segi pendidikan dan pekerjaan, dia lebih hebat dariku. Tapi siapa yang bisa lari dari cinta. Apapun adanya diriku, dia cinta setengah mati. Tak perduli apa kata para tetangga. Tak perduli larangan, bahkan ancaman saudara dan orangtuanya. Sekali dilarang, malah berkali-kali dia rela menemui si jelata ini.

Memang pernah sekali aku mencoba melamar kerja di kelurahan berbekal ijazah SMP.  Karena setahuku, seorang juru ketik di situ, ada yang berijasah SMP. Nyatanya, sangat berbelit prosedur yang kuhadapi. Ujung-ujungnya berbenturan dengan uang. "Kalau tak ada uang segini, kau tak bisa diterima bekerja di sini." Begitu kira-kira omongan orang yang berwenang di kelurahan itu.

Semakin hari semakin berkobar niat kami menikah. Apalagi Isna malu melihat teman-teman seumurannya sudah memomong anak. Dia memintaku mencari uang lebih banyak, bakal menambahi tabungannya yang akan digunakan untuk biaya lamar-lamaran kelak. Tapi toh bukannya mudah mencari uang banyak. Kecuali dengan jalan tak benar seperti yang ditawarkan seorang teman kepadaku.

Dia setiap pagi pergi ke kota P. Kemudian pulang menjelang senja. Terkadang dia beroleh uang sedikit. Terkadang sangat banyak, sehingga bisa meneraktir makan-makan, plus memberiku uang saku. Pekerjaan temanku itu tak lain adalah pencopet di kota P.

Awalnya, meski selalu menikmati pekerjaan busuknya, aku menolak berbuat kriminal seperti yang kerap dia lakukan. Namun lama-lama didera keinginan segera menikah, maka suatu hari kuputuskan ikut dia. Aku berharap bisa memperoleh hasil lumayan dari sekali-dua mencopet. Setelah itu berhenti sama sekali, kemudian menjalani hidup dengan baik.

Ternyata pekerjaan mencopet taklah semudah perkiraanku. Sehari bersama temanku itu, nasib apes menimpa. Alih-alih mendapat hasil copetan, tubuhku lebam karena kepergok. Untung saja aku bisa melarikan diri dan mencoba menyembunyikan penyebab lebamku kepada Isna.

Beruntunglah akhirnya aku diterima menjadi penjaga sekolah di tempat Isna mengajar. Aku  mulai merasa lebih berarti. Meskipun sedikit, tapi aku sudah mendapat penghasilan tetap setiap bulan. Harapan pun mengembang di hatiku dan Isna. 

Hingga di bulan keduapuluhenam menjadi penjaga sekolah, aku memutuskan untuk melamar Isna, yang memang sudah dengan tangan terbuka menerima lamaranku. Hanya saja belum tentu dengan orangtua Isna.

Benar saja, saat aku mencoba bertamu ke rumahnya, kedua orangtuanya langsung menerimaku dengan wajah tak bersahabat. Nasib baik mereka tak mengusirku seperti yang sudah-sudah. Ketika aku mengutarakan niat ingin melamar putri mereka, hanya pertanyaan tentang berapa besar mahar yang bakal kupersembahkan, keluar dari mulut mereka yang bengis.

Begitulah, aku kemudian takut-takut menyebutkan nominal uang lamaran yang pasti mereka anggap sedikit. Benar saja, keduanya langsung menolak lamaranku mentah-mentah. Sebagai tambahan yang membuatku kalang-kabut, orangtua Isna malahan mengatakan akan menjodohkan putri mereka dengan orang dari kota. Kata mereka dia lebih tampan dan kaya dariku. "Simpan saja mimpimu baik-baik," kata ayahnya kala itu.

Betapa hatiku meradang. Aku ingin mengamuk sejadi-jadinya. Namun saat bertemu ibuku, emosi ini mendadak luluh. Dia menasihatiku agar jangan menghadapi semua persoalan dengan amarah. Namun dengan kepala dingin.

Bagaimanapun hati yang panas tak bisa langsung dingin dengan siraman nasihat. Lagi pula kata-kata orangtua Isna tentang orang dari kota, membuatku kalap. Aku segera menemui Isna di tempat kami biasa bersua. Kuutarakan niat nekadku untuk membawanya kawin lari. Dan perempuan terkasihku itu menurut  saja.

Di hari ketiga setelah lamaranku ditolak, kami pergi ke rumah temanku di kota Ph. Di situlah kami mencari penghulu yang memang bersedia menikahkan sepasang insan yang tak direstui orangtua.

Kabar dari kampung yang dibawa seorang teman, tetap membuat kami tegar. Keluarga besar Isna heboh. Guru-guru di sekolah tempat dia mengajar kalang-kabut. Apalagi ibuku, sungguh kasihan menerima sumpah-serapah dari kedua orangtua perempuan yang sudah kunikahi.

Aku dan isna menjadi takut untuk pulang ke kampung. Hanya saja bagaimana dengan tugas-tugas mengajarnya? Bagaimana pekerjaanku sebagai penjaga sekolah? Akhirnya kami pulang dengan wajah tertunduk. Apapun yang harus  dihadapi, itu adalah resiko dari perbuatan kami.

Setiba di kampung, terjadilah tarik-menarik antara diriku dengan orangtua Isna. Sepihak aku mempertahankan istri, di pihak lain mereka menginginkan putri mereka. Ternyata aku kalah. Keduanya berhasil memsihakan kami. 

Namun jangan anggap aku diam saja. Aku mengadu ke polisi di kota kecamatan. Berbekal pengaduan itulah, aku akhirnya bisa menakut-nakuti orangtua dan keluarga besar Isna, sehingga mereka terpaksa merelakan putri mereka untuk kumiliki kembali.

Berbagai rintangan dan cobaan kemudian kami hadapi. Berbagai cemoohan sering hinggap, membuat telinga pedas. Kesabaran yang kuat, belakangan membuat mahligai rumahtangga kami sanggup bertahan. Berbulan, bertahun, hingga kami mempunyai anak.

Hampir empat tahun usia anak kami (yang baru satu-satunya), kondisi kami membaik. Isna diterima menjadi guru tetap (PNS), sementara aku dipercayakan mengawasi seluruh usaha seorang juragan di kampung kami. 

Sementara sudah menjadi tabiat manusia, bila seseorang berduit, maka teman dan saudara semakin membukit. Sebaliknya bila tak berduit, teman dan saudara langsung mendikit. Tapi kami menerima semua dengan lapang dada, seperti lapang dadanya diri ini menerima permintaan maaf dari keluarga besar istriku itu.

-----

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun