Begitulah, aku kemudian takut-takut menyebutkan nominal uang lamaran yang pasti mereka anggap sedikit. Benar saja, keduanya langsung menolak lamaranku mentah-mentah. Sebagai tambahan yang membuatku kalang-kabut, orangtua Isna malahan mengatakan akan menjodohkan putri mereka dengan orang dari kota. Kata mereka dia lebih tampan dan kaya dariku. "Simpan saja mimpimu baik-baik," kata ayahnya kala itu.
Betapa hatiku meradang. Aku ingin mengamuk sejadi-jadinya. Namun saat bertemu ibuku, emosi ini mendadak luluh. Dia menasihatiku agar jangan menghadapi semua persoalan dengan amarah. Namun dengan kepala dingin.
Bagaimanapun hati yang panas tak bisa langsung dingin dengan siraman nasihat. Lagi pula kata-kata orangtua Isna tentang orang dari kota, membuatku kalap. Aku segera menemui Isna di tempat kami biasa bersua. Kuutarakan niat nekadku untuk membawanya kawin lari. Dan perempuan terkasihku itu menurut  saja.
Di hari ketiga setelah lamaranku ditolak, kami pergi ke rumah temanku di kota Ph. Di situlah kami mencari penghulu yang memang bersedia menikahkan sepasang insan yang tak direstui orangtua.
Kabar dari kampung yang dibawa seorang teman, tetap membuat kami tegar. Keluarga besar Isna heboh. Guru-guru di sekolah tempat dia mengajar kalang-kabut. Apalagi ibuku, sungguh kasihan menerima sumpah-serapah dari kedua orangtua perempuan yang sudah kunikahi.
Aku dan isna menjadi takut untuk pulang ke kampung. Hanya saja bagaimana dengan tugas-tugas mengajarnya? Bagaimana pekerjaanku sebagai penjaga sekolah? Akhirnya kami pulang dengan wajah tertunduk. Apapun yang harus  dihadapi, itu adalah resiko dari perbuatan kami.
Setiba di kampung, terjadilah tarik-menarik antara diriku dengan orangtua Isna. Sepihak aku mempertahankan istri, di pihak lain mereka menginginkan putri mereka. Ternyata aku kalah. Keduanya berhasil memsihakan kami.Â
Namun jangan anggap aku diam saja. Aku mengadu ke polisi di kota kecamatan. Berbekal pengaduan itulah, aku akhirnya bisa menakut-nakuti orangtua dan keluarga besar Isna, sehingga mereka terpaksa merelakan putri mereka untuk kumiliki kembali.
Berbagai rintangan dan cobaan kemudian kami hadapi. Berbagai cemoohan sering hinggap, membuat telinga pedas. Kesabaran yang kuat, belakangan membuat mahligai rumahtangga kami sanggup bertahan. Berbulan, bertahun, hingga kami mempunyai anak.
Hampir empat tahun usia anak kami (yang baru satu-satunya), kondisi kami membaik. Isna diterima menjadi guru tetap (PNS), sementara aku dipercayakan mengawasi seluruh usaha seorang juragan di kampung kami.Â
Sementara sudah menjadi tabiat manusia, bila seseorang berduit, maka teman dan saudara semakin membukit. Sebaliknya bila tak berduit, teman dan saudara langsung mendikit. Tapi kami menerima semua dengan lapang dada, seperti lapang dadanya diri ini menerima permintaan maaf dari keluarga besar istriku itu.
-----