Sayang, setiba Manape di rumahnya, suasana terlihat sepi. Pintu depan tak terkunci rapat. Ruangan di dalam berantakan. Kamar istrinya kosong-melompong. Kamar Cipluk dan adik-adiknya bernasib sama. Bahkan ketika dia membuka lemari pakaian, ditemukan hanya ada tumpukan kain miliknya, yang juga acak-acakan.Â
"Kurang-ajar semua orang di rumah ini! Mereka tak tahu aku pulang membawa rejeki?!" Dia menendang pintu depan rumah.Â
Pak Labai, yang masih bertetangga dekat dengan Manape, buru-buru mendatangi lelaki yang diamuk amarah ini.
"Keluargamu ada yang menjemput tadi. Pakai mobil mewah. Katanya dari Jakarta. Wah, diam-diam kau dari keluarga orang yang berduit, Pe!" Pak Labai tersenyum.
"Dari Jakarta? Siapa?" Hati Manape tak tenang.
"Pak Hasanuddin. Katanya istrimu mau dibawa berobat."
Manape terduduk lesu di depan rumahnya. Dia tak lagi menyadari Pak Labai permisi pamit. Akhirnya, kekuatannya sebagai lelaki sekaligus kepala keluarga, musnah. Pak Hasanuddin adalah mertuanya. Dulu pernikahannya dengan anak Pak Hasanuddin taklah direstui. Itulah yang membuat Manape hengkang ke Palembang untuk hidup mandiri bersama anak Pak Hasanuddin yang kini menjadi istrinya itu.
Berdua mereka mengarungi hidup sambil berjanji tak ingin meminta tolong kepada keluarga besar Hasanuddin betapa pun masalah yang dihadapi. Hingga enambelas tahun telah dilalui.
Saat ini, setelah istri dan anak-anaknya tak tahan menerima kepedihan yang diciptakan Manape, perjanjian itu batal. Istrinya pasti telah menelepon sang bapak mertua untuk menjemputnya pulang ke Jakarta. Itu artinya Manape hanyalah pecundang.Â
Dia telah melupakan janjinya dulu akan berjuang mati-matian demi keluarga. Nyatanya ketika jatuh di-PHK, dia menjadi hancur berantakan. Menjadi penjudi dan menerima akibal perbuatannya sekarang ini. Manape, Manape! Kasihannya dikau!
---sekian---