"Kopi, Ayah!" jawab Cipluk dari belakang rumah. Agar Manape tak meledak berangnya, dia buru-buru masuk sambil mengepit sesuatu di sela ketiaknya. "Kopi habis, Yah!"
Mata Manape seolah turut menjerit.
"Yah, kata bidan Saleha, ibu harus dibawa ke rumah sakit. Ibu terserang demam berdarah," lanjut Cipluk.
Manape menghempaskan gelas ke lantai. Bunyinya berdenting, lalu gelas itu pecah seribu. Cipluk ketakutan setengah mati. Benda yang dikepit di ketiaknya itu terjatuh ke lantai. Mata Manape awas, tapi dia tak buru-buru menunjukkan nafsu terhadap benda itu.
"Kau memanggil bidan Saleha? Kau hanya membuang-buang uang, Cipluk! Ibumu itu berpura-pura sakit saja. Dia bosan kepadaku karena tak bisa lagi mencari nafkah. Dia ingin menyiksaku. Coba kalau tak berniat menyengsarakanku, dia pasti sanggup membuat empek-empek dan kau jajakan keliling kota. Dasar, otak kalian sama-sama sampah!"
"Bidan Saleha tak dibayar, Yah! Dia ikhlas membantu. Ibu juga sakit benaran. Bukan dibuat-buat!" Cipluk berani menatap nyalang mata Manape.
"Sudah, kau kemarikan benda di tanganmu!" Manape merampas benda itu. Cipluk berusaha mempertahankannya, sayang tenaganya kalah kuat. Benda berbentuk amplop itu, berisi uang. Mata Manape berbinar. Terbayang malam nanti dia bisa mengalahkan musuh-musuh berjudinya.Â
Terbayang dia bisa berfoya-foya setelah itu, lalu memberikan sebagian uang untuk berobat istrinya. Meski dia tetap yakin istrinya pura-pura sakit, tapi biarlah dia menikmati sakitnya sampai harus berobat di rumah sakit.
"Jangan, Ayah! Itu uang berobat ibu. Aku meminjamnya dari pak rt!" jerit Cipluk.
"Pak rt yang penggatal itu?" Manape jejingkrakan.Â
"Yah, kembalikan! Kalau aku tak bisa membayar utang ke pak rt, kelak aku mau diperistrinya sebagai bayaran. Tolong, Yah! Uang itu sangat perlu."